TRIBUNNEWS.COM - Dalam budaya yang didominasi laki-laki di barat laut Pakistan, perempuan tidak boleh pergi ke bioskop sama sekali.
Meningkatnya militansi dan ekstremisme di wilayah ini membuat perempuan makin terisolasi secara sosial sehingga mereka dilarang meninggalkan rumah tanpa ditemani laki-laki.
Tapi beberapa perempuan merasa kondisi ini harus diubah.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Bioskop suram ini dipenuhi bau asap rokok.
Puluhan pria datang kemari untuk menonton film di sebuah bioskop yang berada di Peshawar, yang terletak 64 kilometer dari perbatasan Afghanistan.
Para pria itu berteriak dan bersorak saat pahlawan dalam film itu muncul di layar.
Di daerah ini, pergi ke bioskop adalah aktivitas yang didominasi kaum lelaki. Kerap film yang ditayangkan mengandung unsur pornografi. Dan yang pasti perempuan tidak dibolehkan masuk ke sana.
Itu bukan masalah satu-satunya. Selama bertahun-tahun militan menjadikan bioskop sebagai target sementara pemilik bioskop dan para aktor menerima ancaman akan dibunuh oleh Taliban. Selain itu pasar dan toko-toko yang menjual video dan DVD juga diserang.
Meski kelompok garis keras melihat bioskop sebagai tanda pembusukan sosial, bagi masyarakat Pashtun, bioskop menjadi satu-satunya sumber hiburan.
Sanna Ejaz adalah aktivis perempuan dari LSM lokal, Shirkatgah.
Bersama empat rekannya, Sanna melakukan survei di empat distrik di provinsi ini untuk mengidentifikasi kebutuhan perempuan. Ini temuannya.
“Kami hidup di zona perang yang menyebabkan trauma. Kepuasan mental dan psikologis hanya mungkin didapat jika perempuan terlibat dalam olahraga, berjalan-jalan di taman atau menonton di bioskop khusus perempuan. Kami telah memasukkan pembangunan taman bermain, taman dan bioskop untuk perempuan dalam daftar tuntutan kami,” papar Sanna.
Hasil survei itu telah diserahkan kepada pemerintah daerah tapi prosesnya tidak akan berjalan mudah.
Perempuan di Peshawar sebagian besar tetap berada di rumah sepanjang hari, sibuk dengan pekerjaan rumah tangga serta merawat keluarga dan anak-anak mereka.
Bahkan seorang perempuan tidak akan pernah keluar rumah bila tidak punya anggota keluarga laki-laki.
Neelam Rahim yang berasal dari lembah Swat mengatakan sudah waktunya perubahan.
“Kebanyakan ruang gerak perempuan terbatas hanya di rumah sejak Talibanisasi di lembah Swat. Sehingga mereka butuh ruang rekreasi di mana mereka bisa keluar rumah dan menikmati waktu luang. Tidak ada salahnya perempuan pergi ke bioskop untuk menonton film.Tapi mereka tidak bisa pergi karena para pria kerap melecehkan mereka,” jelas Neelam.
Sanna dan organisasinya bekerja keras untuk mewujudkan ruang rekreasi, termasuk bioskop khusus perempuan. Tapi mereka menghadapi perlawanan.
Amara Shah Jehan adalah peneliti di Direktorat Budaya pemerintah daerah Provinsi Khyber Pakhtunkhwa.
Dia mengatakan pemerintah tidak punya rencana untuk membuka bioskop khusus perempuan.
“Saya yakin kalau keluarga-keluarga akan bergegas ke bioskop jika pembuat film memikirkan keluarga saat membuat film. Sayangnya tidak ada film yang bisa ditonton seluruh anggota secara bersama-sama. Dialog dan lagu-lagu dalam film yang ada saat ini sangat vulgar karena itu bioskop di daerah kami tidak untuk keluarga,” kata Amara.
Sementara kaum pria juga tidak tinggal diam.
Wali Jan, 24 tahun, seorang mahasiswa.
“Kami akan menghentikan setiap perempuan yang mau ke bioskop. Saya yakin langkah saya akan didukung ribuan pemuda lain. Kita tidak boleh lupa kalau di provinsi ini, partai politik telah melarang gambar pada poster sehingga pembangunan bioskop khusus perempuan juga tidak diboleh dilakukan,” tekad Wali Jan.
Tapi perempuan seperti Sanna Ejaz tidak gentar dengan penolakan ini.
“Setiap orang berhak untuk setuju atau tidak dengan berbagai hal. Tapi jika mereka mencoba untuk menggunakan kekuatan untuk menghentikan kami mendapatkan hak, maka kami juga tahu cara melawan dan bersikap,” tekad Sanna.
Penulis: Mudassar Shah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)