Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Awalnya memang banyak yang bertanya-tanya khususnya mengenai masalah Transfer Pricing (TP) di Indonesia sehingga tak heran lebih dari 100 pengusaha Jepang beserta kalangan auditor raksasanya datang berpartisipasi dalam workshop perpajakan Indonesia yang diadakan di aula Universitas Tokai kemarin dengan pembicara Direktur Perpajakan Internasional, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), John Hutagaol.
"Syukurlah pemandu acara mantan pejabat pajak Jepang, profesor Universitas Nihon, Toshiyuki Fushimi, bisa memandu dengan sangat baik kemarin," papar John khusus kepada Tribunnews.com sore ini (24/3/2017).
Kunjungan John ke Jepang dalam kaitan undangan pertamuan IMF ke-8 dengan tuan rumah kantor pajak Jepang untuk membicarakan persiapan penerapan sistim BEPS mendatang secara global. Bahwa Indonesia sudah on-track siap melakukan hal tersebut, tambahnya.
"Kita bicara dengan para pengusaha Jepang mengenai kebijakan baru Indonesia soal transfer pricing. Meraka tampaknya sangat concern hal ini," tekannya lagi.
Banyak perusahaan Jepang yang memiliki anak usaha investasi di Indonesia, "Tapi setelah secara rinci kami jelaskan akhirnya mereka puas dan lega semua dan semakin yakin untuk melakukan dan meningkatkan investasi di Indonesia."
Guru besar universitas Nihon tersebut memandu soal TP secara baik, tambahnya, "Hal ini baik untuk kepentingan investasi di Indonesia karena yang menyampaikan dan memandu adalah orang Jepang yang bisa dipercaya."
Keluhan banyak pengusaha Jepang ternyata mengenai jangka waktu yang diberikan kepada mereka untuk menyiapkan dokumentasi transfer pricing dianggap terlalu singkat.
"Para pengusaha galau dan tidak tenang tampaknya karena menganggap terlalu singkat waktunya. Tapi saya jelaskan untuk menenagkan hati mereka, bahwa laporan yang dilampirkan pada SPT mereka bukanlah dokumennya tetapi ikhtisarnya saja."
Setelah menjelaskan hal tersebut akhirnya para pengusaha Jepang merasa lega.
"Jadi hanya master file dan local fila saja sebagai ikhtisar dan bukan dokumennya. Kalau dokumennya kita akan minta paling cepat Agustus atau September. jadi masih ada waktu sekitar delapan bulan kemudian," jelas John lagi.
Dengan waktu yang panjang tersbeut para pengusaha senang dan cukup surprise juga mendengar hal tersebut.
"Investor Jepang sangat concern dengan peraturan hukum di Indonesia tampaknya. kepentingan kebijakan di Indonesia sangat diperhatikan dan diikuti dipatuhi dengan baik."
Selain itu mengenai kewajiban secondary filing.
"Para pengusaha Jepang mencoba mendapatkan keyakinan kepastian dari DJP yang kemudian kita merespons dengan baik sehingga akhirnya mereka tenang."
Pada awalnya pengusaha Jepang yang kebanyakan kalangan UKM merasa kuatir anak perusahaan di Indonesia diwajibkan melakukan CBCR (Country By to Country Reporting).
"Indonesia dan Jepang punya bilateral agreement pertukaran informasi CBCR bahwa kewajiban itu tidak berlaku bagi investor Jepang. Setelah mendengarkan penjelasan saya itu mereka tenang lega."
Para pengusaha Jepang tambahnya, tidak diwajibkan untuk membuat CBCR. Cukup membuat master file dan lokal file saja untuk kepentingan TP, tekannya lagi.
Itulah akhirnya yang membuat mereka senang dan puas serta meningkatnya kepercayaan untuk semakin meningkatkan investasi di Indonesia.