Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Brisbane
TRIBUNNEWS.COM, BRISBANE - Suasana akrab antara ibu-ibu warga negara Indonesia dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011 dan 2011-2013, Prof Dr Mohammad Mahfud MD terjalin di rumah makan Sendok Garpu, Brisbane, Australia.
Kesempatan itu digunakan untuk curhat para ibu mengenai soal hukum di Indonesia.
"Dalam kunjungan saya ke Australia, seusai mengisi public lecture tentang politik dan hukum di Universitas Quennsland Brisbane, diminta berdiskusi khusus dengan ibu-ibu asal Indonesia yang kini bermukim dan menjadi istri orang Australia," kata Mahfud MD kepada Tribunnews.com.
Dikoordinir oleh Fenty (asal Yogyakarta) dan Alicia (asal Jakarta) para ibu itu meminta Mahfud mendengarkan curhat mereka sambil makan siang di Rumah Makan Sendok Garpu, Brisbane, Kamis (20/4/17) siang.
Ibu-ibu yang sudah bersuamikan orang Australia pada umumnya sudah mempunyai anak itu menanyakan dua hal kepada guru besar hukum tata negara itu.
"Pertama, mengenai usaha diaspora Indonesia untuk memperjuangkan berlakunya sistem dwikewarganegaraan penuh bagi orang Indonesia yang berada di luar negeri," kata Mahfud.
Keinginan untuk dwikewarganegaraan ini tampaknya cukup besar di Australia.
"Lalu kedua, mengenai perjanjian dalam perkawinan bagi warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing," katanya.
Mengenai pemberlakuan dwikewargangeraan para ibu itu menanyakan upaya yang sudah dilakukan oleh diaspora Indonesia agar diberlakukan sistem dwikewarganegaraan penuh, tidak lagi terbatas sampai usia 18 tahun seperti yang berlaku sekarang berdasar UU No. 12 Tahun 2006.
"Ini penting karena sekarang ini banyak warga negara Indonesia atau keturunan Indonesia yang selain mempunyai kewarganegaraan Australia karena perkawinan atau karena dilahirkan sebagai warga negara Australia juga ingin tetap punya status warga negara Indonesia," kata Mahfud MD.
Adapun mengenai perjanjian dalam perkawinan antara warga negara Indonesia dan warga negara asing yang sejak tahun 2015 diperbolehkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata masih terkendala masalah teknis.
"Seperti diketahui terkait pemisahan harta antara suami istri yang salah satunya bukan warga negara Indonesia menurut UU No. 1 Tahun 1974 hanya boleh dilakukan sebelum dilakukannya pernikahan. Tetapi sejak tahun 2015 MK memutuskan bahwa perjanjian itu boleh dilakukan setelah dan dalam ikatan perkawinan," jelasnya.
Meskipun demikian banyak ibu-ibu yang ingin mengurus perjanjian tersebut kecele karena notaris maupun kantor catatan sipil dan kantor urusan agama ternyata belum mempunyai pedoman teknis.
Baca: Dokter Siapkan Tiga Alternatif untuk Kornea Mata Novel
"Bahkan banyak yang tidak tahu kalau ada putusan MK tersebut," ungkap Mahfud MD.
Menanggapi keluhan ibu-ibu tersebut Mahfud menyatakan akan menyampaikan hal tersebut kepada Pemerintah Indonesia.
"Kalau soal perubahan UU Kewarganegaraan sekarang sudah masuk di dalam Prolegnas 2014-2019 dan tinggal pembahasan di DPR," kata Mahfud.
Kalau soal putusan MK terkait perjanjian pemisahan harta setelah dilakukan perkawinan, Mahfud merasa agak heran karena Pemerintah belum menindaklanjuti dengan petunjuk teknis dan penyediaan form-form implementasinya.
"Menurut UU vonis MK itu langsung berlaku sejak diucapkan dan semua pihak, terutama Pemerintah, dianggap tahu karena setiap vonis MK ditempatkan di dalam Berita Negara," kata Mahfud.
"Nanti akan saya sampaikan kepada Kemenkum-HAM," kata mantan menteri pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Saat menemui ibu-ibu itu Mahfud didampingi oleh mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Edy Suandi Hamid dan Aktivis Advokasi Diaspora Indonesia di Australia untuk Dwikewarganegaraan, Iwan Wibisono.