Tradisi pengibaran koinobori di halaman rumah dimulai oleh kalangan samurai pada pertengahan zaman Edo (1603 - 1867).
Mereka memiliki tradisi merayakan Tango no Sekku dengan memajang peralatan bela diri, seperti yoroi, kabuto, dan boneka samurai.
Selain itu, mereka membuat koinobori dari kertas, kain, atau kain bekas yang dijahit dan digambari ikan koi.
Koinobori dibuat agar bisa berkibar dan menggelembung bila tertiup angin.
Lukisan koinobori asal zaman Edo oleh Hiroshige (Bukit Suruga dan Jembatan Suido) dari Seratus Pemandangan Terkenal dari Edo.
Pada awalnya, orang Jepang hanya mengibarkan koinobori berwarna hitam yang disebut magoi. Koi yang dikibarkan paling atas melambangkan putra sulung dalam keluarga.
Sebagai hiasan yang dibuat untuk meramaikan perayaan, koinobori warna lain juga berangsur-angsur mulai dibuat, dan semuanya melambangkan anak laki-laki dalam keluarga.
Sejak zaman Meiji, koinobori berwarna merah yang disebut higoi mulai dikibarkan untuk menemani koinobori berwarna hitam.
Tradisi pengibaran koinobori biru dimulai sejak zaman Showa. Ukuran koinobori biru (kogoi) lebih kecil dari koinobori merah atau hitam, dan melambangkan anak koi.
Pada zaman sekarang sering dijumpai koinobori warna hijau dan oranye yang dimaksudkan sebagai anak-anak koi.
Di beberapa tempat di Jepang, koinobori bukan saja milik anak laki-laki. Koinobori yang melambangkan adanya anak perempuan dalam keluarga juga ingin ikut dikibarkan.
Baca: Jet Pribadi Rp 250 M Jadi Misteri, Semula Disebut Milik Setnov, Robert Kardinal Bilang Sewaan
Tersedianya koinobori warna cerah seperti oranye kemungkinan ditujukan untuk keluarga yang memiliki anak perempuan.
Pada 1931, pencipta lagu Miyako Kondo menulis lagu berjudul "Koinobori".