TRIBUNNEWS.COM - Tak banyak diketahui publik, ternyata AS pernah menimbang-nimbang rencana untuk melancarkan serangan militer preemtif, alias pendadakan untuk menamatkan kediktatoran Korea Utara pada tahun 1994.
Pada masa itu, AS menemukan bahwa Korut ternyata melakukan pengayaan uranium di reaktor nuklir mereka di Yongbyon demi tujuan pengembangan senjata nuklir.
Presiden AS saat itu, Bill Clinton kemudian meminta pada Pentagon untuk menyiapkan rencana serangan presisi menghancurkan reaktor Yongbyon sehingga Korut akan kehilangan kemampuan nuklirnya.
Rencana yang disebut Operational Plan 5027 itu akan memanfaatkan pesawat pembom F-117A Nighthawk dan juga rudal Tomahawk untuk menyerang komplek Yongbyon secara bertubi-tubi.
Serangan ini sudah pasti akan dibayar mahal lantaran serangan ke reaktor tidak akan melumpuhkan kekuatan militer konvensional Korut dan perang dipastikan akan pecah.
Pentagon memperkirakan bahwa sekitar satu juta nyawa prajurit dan penduduk akan melayang demi penghancuran Yongbyon.
Menteri Pertahanan di kabinet Clinton saat itu, William Perry, mengungkapkan dan mendorong agar bosnya tidak mengambil opsi militer dengan menjalankan Op Plan 5027 untuk menghantam Korut.
Ia masih percaya adanya jalan lain, misalnya dengan pendekatan sanksi melalui PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).
Korea Utara sendiri menyatakan bahwa sanksi melalui PBB akan dianggap sebagai tindakan perang. Sebaliknya, Perry menganggap bahwa ini adalah gertak sambal dibandingkan serangan langsung yang sudah pasti akan berujung perang.
Jika perang memang pecah, ada 37.000 nyawa prajurit AS di Korsel yang menjadi taruhan. Mereka harus menambah kemampuan dan jumlah pasukan untuk menghadapi ancaman perang nuklir.
Perry dan Kepala Staf Jenderal John Shalikashvili pun mengulur waktu dengan menganjurkan adanya pergeseran 10.000 prajurit tambahan.
Jumlah ini di luar pesawat F-117 dan B-52 serta kapal induk ke Semenanjung Korea sebelum Presiden Clinton ambil keputusan untuk menyerbu.
Di sisi lain, mantan Presiden Jimmy Carter dalam waktu bersamaan tengah berkunjung ke Korea Utara. Di depan media, diumumkan bahwa Carter berkunjung dalam kapasitasnya sebagai masyarakat biasa.
Di balik itu, Jimmy Carter juga membawa misi rahasia untuk berunding dengan Kim Jong Il agar meredam ambisi nuklirnya. Dengan kaliber status sebagai mantan Presiden AS, Jimmy Carter diterima oleh Korut setelah sejumlah utusan AS lainnya ditolak.
Diterima sendiri oleh Kim Il Sung yang saat itu sudah sakit-sakitan, Jimmy Carter berhasil meluluhkan hati sang diktator. Kim senior setuju untuk membekukan program nuklirkan asalkan Korut dapat memperoleh akses minyak dan bahan pangan untuk kebutuhan dalam negerinya.
Uniknya, deal yang dibuat antara Carter dan Kim Il Sung ini sejatinya tidak pernah dikonsultasikan kepada pemerintah AS.
Karena “ulah” Carter ini, Presiden Clinton mau tidak mau harus membatalkan Op Plan 5027 dan memulai negosiasi panjang. Pada akhirnya, Korut selama dua dekade selalu ingkar janji dan terus mengembangkan senjata nuklirnya.
AS yang tidak sepenuhnya percaya pada Korut tentu tidak lantas membuang Op Plan 5027 begitu saja. AS terus menerus menyempurnakannya, termasuk membuat sejumlah perjanjian payung dengan Jepang.
Dalam perjanjian itu, AS dapat menggunakan pangkalan-pangkalan militer Jepang seandainya perang pecah dengan Korea Utara.