TRIBUNNEWS.COM, SURIAH - Seperti inilah suasana Kota Maaret Al-Numan, Sabtu pagi, 6 Mei 2017.
Jalanan tampak sepi, hanya tampak segelintir mobil yang melintas. Sejumlah warga terlihat tenang mengerjakan aktivitas sehari-hari mereka, seperti berjualan ataupun menjalankan layanan servis kendaraan.
Namun, rasa aman ini mungkin tidak akan bertahan lama. Banyak warga yang pesimistis akan keberlangsungan kesepakatan gencatan senjata ataupun zona aman.
Seperti Abu Elias, seorang guru yang merasa ragu Presiden Suriah Bashar Al-Assad akan menghormati kesepakatan itu.
Kepala delegasi untuk negosiasi revolusi Suriah juga meragukan niat baik Rusia sebagai negara penggagas pembentukan zona aman.
Zona penurunan konflik atau zona aman akan dibentuk di empat wilayah Suriah. Mulai dari Homs, Idlib, sebagian wilayah Aleppo, dan Latakia.
Homs dan Idlib hingga saat ini masih menjadi basis pertahanan kelompok pemberontak. Begitu pula dengan Latakia.
Sementara hampir seluruh Aleppo, sejak akhir tahun lalu telah direbut kembali oleh militer Suriah.
Kesepakatan pembentukan zona aman ini dicapai dalam perundingan damai Suriah putaran keempat yang berlangsung di Astana, Kazakhstan.
Di empat daerah ini, Rusia, Iran, dan Turki memberlakukan sejumlah larangan. Mulai dari larangan penggunaan senjata dan larangan mengudara bagi seluruh penerbangan.
Kesepakatan tiga negara juga mendesak pihak yang berperang untuk memperbolehkan bantuan kemanusiaan masuk dan ada jaminan bagi semua warga di empat wilayah yang mengungsi untuk pulang.
Kesepakatan ini tidak berlaku bagi kelompok teroris ISIS.(*)
>