TRIBUNNEWS.COM – Kebebasan pers merupakan isu yang dekat dengan kehidupan jurnalis.
Pasalnya, di daerah-daerah konflik seperti Kashmir dan Myanmar, wartawan sering mengalami kekerasan saat bertugas bahkan terbunuh karena menyajikan info-info yang dianggap merugikan mereka.
Salah satu koresponden Asia Calling Jasvinder Sehgal menceritakan pengalaman rekan jurnalisnya yang sempat mengalami tragedi tersebut. Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Indonesia (KBR).
Tasneem Khalil adalah seorang penulis vokal di surat kabar ternama Bangladesh, The Daily Star. Dia menulis tentang kasus-kasus pembunuhan tanpa proses pengadilan. Sampai satu hari dia diseret keluar dari rumah, dimasukkan ke penjara dan disiksa.
Dia adalah satu dari puluhan jurnalis yang diserang di Bangladesh dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia, yang dirilis pada April lalu, kebebasan pers di 72 negara berada dalam ‘situasi yang sangat serius’. India sendiri berada di posisi 136 dari 180 negara.
“Ada pusat pemantauan media elektronik yang terdiri dari 200 editor konten yang menonton dan memantau lebih dari 600 saluran berita. Tugasnya mengawasi segala hal di internet, Twitter, Instagram, Facebook, dan media lainnya. Jurnalis pun ada kategorinya, positif, negatif dan netral. Ini berarti media India tidak bebas,” keluh Kaveetha Singh, seorang mahasiswa yang mengambil jurusan Jurnalistik.
Tidak hanya di India, situasi di Thailand juga menyudutkan Kannikar Petchkaew yang menjadi salah satu koresponden Asia Calling di Bangkok.
“Jadi sensor adalah hal biasa bagi jurnalis di sini. Kapan pun saya menulis laporan tentang negara ini, saya harus memeriksa setiap kalimat dan setiap kata. Tujuannya agar saya tidak terlibat masalah. Ini menyulitkan saya,” kata Kannikar.
Masih banyak jurnalis di wilayah lain yang merasakan kepedihan ini. Mereka masih berjuang untuk bekerja secara independen dan penuh kebebasan. Namun, kelihatannya sekarang masih sebatas mimpi.