TRIBUNNEWS.COM - Dari tahun 2001 sampai 2014, media di Afghanistan berkembang pesat. Ratusan saluran televisi, surat kabar, stasiun radio dan media online bermunculan.
Negara itu pun bisa menikmati lingkungan dengan media paling beragam dalam sejarahnya.
Tapi ketika pasukan asing keluar dari Afghanistan pada 2014, banyak aspek kehidupan yang terdampak termasuk media. Proyek-proyek yang didanai organisasi asing ini tiba-tiba mengalami krisis keuangan dan terpaksa ditutup.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Ismail Kiliwal sudah bekerja sebagai jurnalis lebih dari tujuh tahun. Tapi selama delapan bulan terakhir, dia menganggur.
“Setelah empat tahun bekerja di stasiun radio Badloon dan Kayhan di Kunduz, kondisi keuangan kantor menurun. Awalnya gaji kami berkurang kemudian ganjian tidak tepat waktu. Akhirnya saya keluar dari sana karena saya butuh uang. Tapi saya belum dapat pekerjaan sampai sekarang,” tutur Ismail.
Ismail adalah satu dari sekitar 500 jurnalis yang harus kehilangan pekerjaannya tahun ini. Banyak yang harus bekerja selama berbulan-bulan tanpa dibayar dan akhirnya terpaksa keluar.
Beberapa mencari pekerjaan di luar negeri. Sementara yang lain tetap tinggal di dalam negeri dan masih menganggur, seperti Ismail.
Dalam setahun terakhir, 10 stasiun radio dan empat saluran televisi tutup karena masalah keuangan. Sedangkan yang lain mengurangi jam operasional mereka.
Majeed Moqori, CEO and pemilik Watan RTV, sedang menunjukkan pada saya peralatan siaran yang dulu digunakan di 20 provinsi.
Kini peralatan itu sudah tidak digunakan lagi. Majeed bilang radio mereka tutup tahun lalu karena masalah keuangan.
“Sayangnya kami tidak punya kemampuan keuangan untuk terus siaran. Jadi kami mengumpulkan semua peralatan siaran radio kami dari 20 provinsi. Sebelumnya, program kami didanai dari bantuan kedutaan asing dan lembaga lainnya,” jelas Majeed.
Setelah kejatuhan Taliban pada 2001, terjadi ledakan media di Afghanistan.
Organisasi internasional dan kedutaan asing membawa dana dalam jumlah besar untuk membangun kembali masyarakat sipil Afghanistan. Dana itu digunakan untuk proyek media dan iklan.
Abdul Mujeeb Khalwatger adalah jurnalis dan direktur lembaga NAI, yang mendukung media terbuka.
Dia bilang berkembangnya media setelah 2001 ikut meningkatkan jumlah dan kualitas jurnalis profesional. Tapi gelombang tutupnya media yang sedang terjadi telah membalikkan pencapaian itu.
“Jika kita bandingkan media sekarang dengan 30 tahun lalu, profesionalisme media dan kualitas pelaporan meningkat pesat dalam 15 tahun terakhir. Ada jenis program baru, seperti debat dan hiburan. Tapi jika kita bandingkan situasi sekarang dengan empat tahun lalu, standarnya jatuh. Penyebabnya karena kita kehilangan pendanaan. Ini membuat jumlah dan mutu pelaporan media berkurang,” kata Abdul.
Sampai 2001, pemerintah dan Taliban mendominasi media. Setelah 2001, semua suara bisa masuk; perseorangan, kelompok etnis dan agama serta asing.
Diperkirakan hingga dua ribu media baru aktif pada tahun 2010. Tapi pada 2014, lebih dari seratus ribu pasukan koalisi, yang dipimpin Amerika Serikat mundur dari Afghanistan, karena misi mereka sudah selesai.
Ketika mereka pergi, organisasi internasional menutup kantor mereka dan uang yang mengalir ke media Afghanistan pun ikut berhenti.
Arif Noori dulu kepala publikasi Mingguan Qeyaam di provinsi utara Afghanistan. Publikasi ini didanai Asia Foundation dari 2010 hingga 2014, sampai mereka terpaksa tutup karena kekurangan dana.
“Situasi media memburuk pada 2014. Anggaran kami terhenti. Kantor regional Asia Foundation yang mendukung kami tutup karena mereka merasa tidak aman. Tanpa anggaran, kami juga harus menutup kantor,” kata Arif.
Beberapa pemilik media meminta pemerintah untuk mendukung media komersial dan independen, dan menyelamatkan mereka dari keruntuhan. Tapi pemerintah mengatakan tidak bisa melakukan apa-apa.
Saber Mohmand dari Kementerian Informasi dan Kebudayaan Afghanistan. “Media swasta adalah milik swasta, yang dibuka dengan uang dan dukungan swasta. Kami tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendukung media swasta,” katanya.
Pakar media percaya situasi saat ini akibat perencanaan yang buruk. Pemerintah memberikan ribuan ijin untuk media dalam waktu yang sangat singkat.
Pemilik media dan penyandang dana internasional juga tidak punya rencana untuk memastikan keberhasilan media dalam jangka panjang. Jadi ketika dana dari luar berhenti, media pun terdampak.
Warga Kabul, Arif Azizi, mengaku menikmati ledakan media di Afghanistan. Menurutnya ini membantu meningkatkan akuntabilitas dalam pemerintahan dan masyarakat. Tapi dia khawatir menyusutnya jumlah media akan membuat orang Afghanistan menderita.
“Makin banyak media makin banyak informasi yang bisa didapat masyarakat. Kalau banyak media tutup, informasi yang didapat masyarakat pun berkurang. Kasus-kasus kejahatan yang dulu dimuat di media akan kembali meningkat,” kata Arif Azizi.