TRIBUNNEWS.COM, PYONGYANG - Amerika Serikat sudah mengajukan sanksi baru yang akan diterapkan kepada Korea Utara. Sanksi ini meliputi pelarangan minyak dan pembekuan aset-aset Kim Jong Un.
Hal itu sudah dituangkan dalam draft resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai respon atas ujicoba nuklir teranyar yang dilakukan Korea Utara. Nantinya, draft ini akan dipertimbangkan oleh seluruh anggota Dewan Keaman PBB.
Draft proposal tersebut mengusulkan pelarangan suplai beragam produk minyak ke Korut dan pembelian barang ekspor tekstil mereka.
Selain itu, aset-aset Kim Jong Un juga akan dibekukan dan dia dilarang bepergian.
Langkah ini diambil sebagai upaya memperketat kebijakan terhadap Korut pasca mereka melakukan tes ujicoba bom hidrogen.
Sebelumnya, Korea Utara mengklaim telah berhasil memproduksi bom hidrogen dengan daya ledak sangat kuat dan bisa dimuat di dalam rudal balistik jarak jauh.
Selain itu, ada pula usulan lainnya yakni melarang perekrutan pekerja dari Korut di luar negeri. Remitensi dari tenaga kerja Korut dan ekspor tekstil diyakini menjadi dua sumber utama pendapatan negara diktator tersebut.
Belum diketahui, apakah permintaan AS ini akan mendapat dukungan dari Rusiaatau China. Kedua negara ini merasa skeptis mengenai peningkatan sanksi kepada Korea Utara.
Baca: Walah, Ujicoba Nuklir Korea Utara Bikin Tanah Jadi Longsor
Di sisi lain, kedua negara juga merupakan negara penyuplai minyak ke Korea Utara dan memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Dalam rapat DK PBB pada awal pekan ini, perwakilan AS Niki Haley mengatakan 20 tahun peningkatan sanksi yang diberikan secara bertahap kepada Korut tidak menghentikan Pyongyang dalam menghentikan program nuklir mereka.
Baca: Rakyat Korea Utara Pesta Kembang Api Rayakan Keberhasilan Uji Coba Nuklir Terbesar
"Cukup sudah. Saat ini kita harus mengambil kebijakan yang sangat keras," kata Haley.
Kantor berita Reuters memberitakan, perwakilan AS menginginkan Dewan Keamanan PBB melakukan voting terkait sanksi tersebut pada Senin, pekan depan.
Tapi, disinyalir, draft tersebut akan mendapatkan tentangan dari sejumlah negara.
Presiden Rusia Vladimir Putin menilai, jumlah ekspor minyak dari Rusia ke Korut -yang berkisar 40.000 ton- tak berarti. Putin kepada AFP bilang, sanksi yang lebih tegas kepada Korut, bukan jawabannya.
Baca: Naik Bus Transjabodetabek Premium, dari Bekasi ke Senayan Cuma 1 Jam
"Menguras emosi dalam kejadian dan menyudutkan Korut akan menjadi hal yang sia-sia," kata Putin.
Sementara, China, telah lama menjadi sekutu Korut. Tapi, seperti halnya Rusia, China mendukung sanksi teranyar kepada Pyongyang karena aksi ujicoba nuklir yang dilakukan.
Sebelumnya, pada Agustus lalu, Korut dikenakan sanksi internasional berupa pelarangan ekspor termasuk batubara.
Hal ini diprediksi merugikan Korut senilai US$ 1 miliar atau sepertiga dari total perekonomian ekspor mereka.
Barratut Taqiyyah Rafie/Sumber : BBC