"Saya tidak punya makanan, tidak ada tempat berlindung dan tidak ada cara untuk memasak apa pun, saya belum merasa lega," kata dia sambil meneteskan air mata.
"Jika saya mendapatkan bantuan ya saya makan, kalau tidak saya kelaparan."
Arefa, yang tiba di sini dua hari yang lalu dari desa Lambaguna di Distrik Akyab, mengaku berusia 40 tahun.
Namun penampakannya terlihat jauh lebih muda.
Suaminya, Nabi Hussain, ditembak mati oleh militer Myanmar, kata dia.
Seorang rekannya warga Rohingya lain menawarinya tenda untuk berbagi, hingga dia bisa menata hidupnya sendiri.
Namun, di pusat distribusi bantuan swasta di Balukhali, dia tidak beruntung.
Manzoor Ahmed, seorang pengungsi lain, terlihat telah memasang sebuah tenda di lahan pribadi yang disediakan oleh seorang warga Banglades.
"Ini benar-benar buruk, air masuk ke rumah kita, seluruh daerah banjir," kata dia mengomentari bencana banjir yang datang menghantam kamp pengungsian.
"Saya tidak punya tempat untuk tidur, otak saya tidak bekerja, saya tidak tahu harus berbuat apa."
Pria berusia 65 tahun itu tiba di Balukhali tiga hari lalu, bersama 11 anggota keluarganya.
Dia bilang dia beruntung, sebab tak satu pun anggota keluarganya terbunuh.
Lembaga bantuan memperingatkan bahwa operasi penyaluran bantuan harus dibenahi.
Koordinasi antara badan-badan kemanusiaan, LSM lokal, dan pihak berwenang sangat penting, kata mereka.