MALAM mulai larut tapi Kota Akihabara seolah tak ada matinya, Jumat (27/10/2017).
Waktu menunjukkan pukul 01.30 waktu setempat atau lewat tengah malam.
Uniknya masih banyak muda-mudi lalu lalang di jalan.
Motor maupun mobil mewah juga masih berseliweran.
Seorang gadis belia bahkan masih santai berjalan di depan Don Quijote Akihabara seorang diri.
Tanpa rasa khawatir akan mendapat gangguan atau tindak kriminal.
Di Jepang dari sisi keamanan memang disebut-sebut sangat baik.
Baca: Keluarga Gelar Tahlilan Setelah Ayah Hendrik Kerasukan Sambil Teriak Panas
Don Quijote Akihabara adalah gedung 8 lantai, 7 lantai merupakan toko diskon dengan berbagai macam produk sementara di lantai teratas untuk pertunjukan AKB 48.
AKB 48 merupakan selebritis, kumpulan gadis-gadis cantik dan belia dengan bakat menyanyi dan menari memiliki banyak fans serta mereka menjadi cikal bakal lahirnya JKT 48 di Indonesia.
GDP (Gross Domestic Product) atau pendapatan nasional bruto per kapita Jepang relatif tinggi.
Jepang mendapat ranking 24 dunia dengan per kapitanya 38.633 dolar AS.
Sementara bila dibandingkan dengan Indonesia sangat jauh.
Indonesia ada di urutan 118 dengan GDP per kapita sebesar 3.475 dolar AS.
Meski memiliki peringkat bagus dari sisi kesejahteraan tak menjamin Jepang menjadi negara sempurna tanpa ketimpangan sedikit pun.
Baca: Jumlah Jenazah 47 Tapi yang Melapor Kehilangan Anggota Keluarganya Sudah 50 Orang
Masalah yang telah lama merongrong Jepang hingga saat ini pun masih ada.
Para tunawisma, warga Jepang yang tak memiliki tempat tinggal layak rela tidur di sembarang tempat.
Mereka terlihat jelas saat lewat tengah malam tidur di pinggir trotoar.
Gunakan jaket tebal atau kantung tidur mereka tidur berkelompok di bawah jembatan rel kereta cepat.
Ryohei, seorang warga setempat menyebut mereka adalah orang-orang yang tak mau bekerja.
Dan biasanya makan dari mengais-ngais sisa makanan di sampah.
Ada juga yang mengumpulkan botol-botol plastik kemudian dijual ke tempat penampungan dan cukup untuk makan sehari-hari tapi tak mampu untuk bayar sewa tempat tinggal.
Biaya sewa rumah di Jepang sangat tinggi per bulan antara Rp 7 juta sampai Rp 10 juta.
Sedangkan gaji standar pekerja sekitar Rp 20 juta hingga Rp 25 juta.
Baca: Sang Pemeran Pria Mengaku Sengaja Sebarkan Video Mesum dengan Kekasihnya
Menurut Ryohei bila orang-orang tersebut bisa bekerja sesuai dengan kemampuan standar, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sewa rumah tentu masih bisa.
Ia menambahkan kalau orang-orang tersebut ada juga yang bangkrut atau sudah tak mau bekerja lagi hingga memilih untuk hidup menggelandang.
Sementara itu Hifumi Takimoto, local guide untuk media tour Suzuki menjelaskan banyaknya tunawisma di Jepang ditandai setelah adanya tsunami besar tahun 2011 lalu.
Bencana tersebut membuat banyak orang terpuruk tak memiliki rumah.
Perekonomian di Jepang juga terpengaruh tapi saat ini menurutnya perekonomian telah membaik.
Menurut Hifumi pemerintah di Jepang juga telah membuat program untuk pengentasan tunawisma, tapi menurutnya banyak yang tak bersedia ikut.
Ada juga beberapa tunawisma yang menurutnya mengalami gangguan kejiwaan.
Bila di Kota Akihabara ada beberapa yang terlihat tidur di pinggir jalan, Hifumi mengatakan kalau di tempat tinggalnya yakni di Osaka bahkan tunawisma lebih banyak.
Masalah paling genting yakni saat musim dingin.
Menurut Hifumi bahkan ada tunawisma yang tak bisa bertahan saat musim dingin.
Ada yang sampai kehilangan nyawa.
Beberapa tunawisma mengantisipasi dingin dengan kardus-kardus yang ia buat seperti rumah.
Seperti pantauan Tribunnews, Sabtu (28/10/2017) siang, ada sebuah kardus dan di sampingnya koper seseorang.
Baca: Subarna Ega Tukang Las Pabrik Petasan Ditetapkan Jadi Tersangka
Benda-benda tersebut diletakkan di bawah jembatan rel kereta.
Saat itu hujan gerimis dan benda-benda tersebut terlindungi dari hujan.
Hifumi menjelaskan kalau itu merupakan milik seorang tunawisma.
Biasanya mereka akan kucing-kucingan dengan polisi.
Namun tak sedikit pula polisi yang membiarkan karena kasihan dengan kondisi tunawisma tersebut.
Polisi biasanya akan mengusir tunawisma bila tidur di ruang-ruang publik, maka banyak tunawisma akhirnya memilih lokasi yang diupayakan jauh dari keramaian.
Mengatasi hawa yang dingin di musim dingin sekitar bulan November nanti (saat ini masih pergantian antara musim gugur ke musim dingin) banyak yang memilih berlindung di gedung area subway atau kereta bawah tanah.
"Mereka akan menunggu kereta selesai beroperasi sekitar jam satu malam," jelas Hifumi.
Kemudian para tunawisma akan mencari tempat yang memungkinkan.
Di subway tubuh tunawisma terlindung dari hawa dingin dan sebelun beroperasi kembali sekitar jam 5 pagi para tunawisma akan segera berbenah atau menyingkir.
Jumlah Tunawisma
Catatan media lokal The Japan Times via japantimes.co.jp pada liputan tahun 2016, pemerintah setempat telah melakukan pendataan sejak tahun 1995 dan telah memberikan program untuk pengentasan para tunawisma.
Beberapa kebijakan telah membuat para tunawisma bisa hidup mandiri dan bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pembersih maupun petugas kebersihan atau juga jenis pekerjaan lain.
Hal ini disampaikan oleh seorang pejabat di biro kesejahteraan sosial dan kesehatan pemerintah metropolitan seperti dilansir Tribunnews dari The Japan Times.
Ada di beberapa wilayah sesuai catatan statistik liputan tahun 2016 tersebut jumlah tunawisma mengalami penurunan ada juga yang mengalami peningkatan.
Baca: Subarna Ega Jadi Tersangka, Sang Istri Pernah Mencarinya di RS Polri
Kota Taito terjadi penurunan sesuai catatan di tahun tersebut dari tahun 2015 berjumlah 128 orang lalu menurun menjadi 88 orang.
Sementara Shibuya justru terjadi peningkatan jadi 107 orang, naik, 18 orang dibandingkan jumlah di tahun sebelumnya.
Sedangkan Shinjuku berjumlah 97 gelandangan naik 27 orang dibanding tahun 2015.
Sama seperti yang dijelaskan Hifumi, pejabat dalam laporan The Japan Times mengatakan kalau banyak tunawisma yang menolak dukungan atau bantuan dari pemerintah.
Pejabat tersebut juga menambahkan para gelandangan yang memiliki masalah kesehatan mental sulit untuk dijangkau bahkan tak bersedia bicara dengan petugas yang menawarkan dukungan.
Catatan 2016 di Tokyo bahkan jumlah gelandangan sesuai data statistik pemerintah dilaporkan The Japan Times capai angka fantastis yakni 1.473.
Sementara itu masih dari laporan The Japan Times, Kepala Pusat Advokasi dan Penelitian Tunawisma (ARCH) pada tahun 2016 Takuya Kitabatake yang berbasis di Tokyo bahkan menyebut fakta jumlah gelandangan capai angka kebih dari 1.500 orang.
Ia bahkan menyebutkan survei yang dilakukan pemerintah saat itu hanya dilakukan pada siang hari, padahal menurutnya perbedaan angka survei dari siang dan malam sangat signifikan.
Kitabatake, seorang PhD lulusan Institut Teknologi Tokyo dengan tim ARCH melakukan penghitungan tunawisma di Shibuya, Shinjuku dan Toshima tahun 2016.
Hasilnya hampir tiga kali lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh pejabat kota.
"Di stasiun terminal tempat kami melakukan penghitungan jalan, perbedaan angka di siang hari dan malam hari sangat signifikan, jadi kami dapat mengasumsikan angka sebenarnya jauh lebih tinggi," kata Kititabatake ARCH kepada The Japan Times saat itu.
Ia bahkan menyebut survei yang dilakukan bahkan belum menyasar pada warga yang tidur di cafe internet. (Tribunnews.com/Robertus Rimawan Prasetiyo)