TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setidaknya 6.700 warga etnis Rohingya terbunuh di awal-awal konflik kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar di negara bagian Rakhine yang dimulai pada akhir Agustus lalu.
Kekerasan meletus pada 25 Agustus dan memicu gelombong pengungsi yang besar, yakni lebih dari 620.000 Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh dalam tiga bulan.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan AS telah menggambarkan operasi militer tentara Myanmar sebagai pembersihan etnis minoritas Rohingya, namun belum merilis spesifik estimasi dari korban yang meninggal dunia.
"Setidaknya 6.700 Rohingya, dalam estimasi paling konservatif, diperkirakan telah tewas, termasuk setidaknya 730 anak di bawah usia lima tahun," demikian disampaikan Organisasi masyarakat, Dokter Tanpa Batas (MSF), Kamis (14/12/2017).
Baca: Di Bangladesh, Gadis-gadis Remaja Rohingya Terpaksa Nikah Dini Demi Bisa Makan
MSF menyebutkan dari survei, mereka menemukan lebih dari 2.434 pengungsu di kamp pengungsi Rohingya dan mencakup periode satu bulan.
"Kami bertemu dan berbicara dengan korban kekerasan di Myanmar, yang kini menaungi di kamp-kamp yang penuh sesak dan tidak sehat di Bangladesh," kata Direktur medis MSF Sidney Wong.
"Apa yang kami temukan itu mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang melaporkan anggota keluarga yang meninggal sebagai akibat dari kekerasan, dan cara yang mengerikan di mana mereka mengatakan mereka membunuh atau melukai dengan cara yang kejam."
"Luka tembak adalah penyebab kematian di 69 persen kasus-kasus," demikian menurut survei mereka.
Yang lain sembilan persen dilaporkan dibakar hidup-hidup di dalam rumah, sementara lima persen meninggal karena pukulan fatal.
Untuk anak di bawah lima, hampir 60 persen meninggal setelah ditembak, survei menemukan.
Tentara Myanmar telah menyangkal pelanggaran apapun dan mengatakan hanya 400 orang, termasuk 376 "teroris" Rohingya --meninggal dalam beberapa minggu pertama. (FRANCE 24 with AFP) .