Laporan Wartawan Tribun Jakarta, Gilang Ajiputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wartawan dari kantor berita Australia, The Sidney Morning Herald (SMH) yakni James Massola, Amilia Rosa dan Karuni Rompies mengisahkan perjalanan mereka bersama rombongan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo saat berkunjung ke Banten.
Sebelum Jokowi bertolak ke Australia untuk menghadiri KTT Istimewa ASEAN - Australia di Sidney.
Selama perjalanannya, rombongan wartawan Australia itu menanyakan tiga hal utama kepada Presiden Jokowi, antara lain:
1. Bagaimana membuat hubungan yang lebih baik antara Indonesia dengan Australia?
2. Bagaimana kerjasama Indonesia dan Australia dalam menghadapi semakin tumbuhnya kepentingan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara dan Australia?
3. Sebagai tetangga terdekat (Australia), negara macam apa Indonesia ini, negara demokrasi yang seperti apa?
Menurut jurnalis SMH, Presiden Jokowi tengah melakukan "kampanye tidak resmi" saat melakukan kunjungan ke Banten.
Tujuan pertama yang didatangi oleh rombongan Presiden (termasuk ketiga wartawan SMH), adalah Pondok Pesantren Nawawi, di Desa Tanara, Banten.
Jaraknya sekitar 70 kilometer dari Jakarta dan butuh waktu sekitar 3 jam untuksampai kesana.
Baca: PM Australia Puji Kepemimpinan Presiden Jokowi
Presiden tiba pukul 10 pagi dan disambut oleh ribuan penduduk, termasuk kepala kepolisian, perwira militer, dan pejabat tinggi lainnya, termasuk Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H Ma'ruf Amin.
Baca: Teka-Teki Jonathan Bauman, Jadi Striker Anyar Persib Bandung? Begini Faktanya
Presiden Jokowi kemudian berbincang dengan kelompok wirausaha perempuan di desa itu, sambil membagikan modal usaha dengan sistem syariah atau lebih tepatnya sebenarnya adalah wakaf, sebesar Rp.1.000.000 atau US$ 100.
Setelah itu, Presiden Jokowi berjalan ke sebuah tenda dimana ribuan orang lainnya telah menunggu sambil mendengarkan lantunan ayat Al-Qur'an dan lagu-lagu religi Islami.
Bagi jurnalis SMH itu, kegiatan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, seperti memberikan pelatihan bisnis, cara mengelola bisnis, hingga trik menghindari renternir, menjadikan Jokowi sebagai "separuh businessman dan separuh presiden".
Baca: 10 Tahun Hidup Berkeliling Hotel Mewah, Dana CW dari Dua Sumber Ini
Menurut jurnalis SMH tersebut, kunjungan blusukan Presiden ke pasar lokal pada kampanye 2014, telah ditukar dengan lebih banyak kunjungan ke lokasi keagamaan, seperti pesantren.
Dengan melakukan hal ini, Jokowi berharap bisa melepaskan diri serangan dari lawan-lawan politiknya dan isu-isu bahwa dia bukan seorang Muslim yang baik.
Tingginya elektabilitas Jokowi pada 2014 dibenarkan oleh jurnalis SMH. Menurutnya, kenaikan elektabilitas dan sosok populer Jokowi tidak mengherankan, tetapi sosok Prabowo Subianto juga dapat menjadi lawan yang sebanding lagi bagi Jokowi pada 2019.
Basis pendukung Jokowi mengklaim mayoritas kuat di provinsi Jawa di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, Prabowo melawan dengan memperoleh hampir 20 persen di provinsi-provinsi yang lebih konservatif di Jawa Barat dan Banten.
Namun, menurut jurnalis SMH ini, mengutip Aaron Connolly dari Lowy Institute, Jokowi memiliki kelemahan, yaitu masalah politik identitas.
"Jokowi dan rakyatnya khawatir dia akan diserang karena politik identitas. Pada tahun 2014, iklan surat kabar berbunyi mengatakan dia seorang Kristen, atau orang Singapura-China. Dia melakukan ziarah kecil ke (Mekkah di) Arab Saudi untuk mengatasinya." kata Connolly kepada SMH.
"Jokowi berasal dari aliran moderat Islam, Nadhlatul Ulama, mereka dianggap lebih sufi dan juga memiliki kepercayaan tradisional Jawa," lanjut Connolly.
Kepopuleran Jokowi itu yang kemudian membuat banyak partai menggandeng PDI Perjuangan, karena potensi kemenangan yang dimiliki oleh Jokowi, setidaknya itu yang dikatakan oleh James Massola dalam tulisannya.
James Massola dan kedua rekannya dari SMH kemudian diajak salah seorang staf presiden untuk dipersilahkan mewawancarai Presiden Jokowi.
Pertanyaan pertama dari jurnalis SMH itu adalah bagaimana membuat hubungan yang lebih baik antara Indonesia dengan Australia?
Presiden Jokowi kemudian menjawab, ia ingin Australia ikut bergabung dalam ASEAN, konsentrasinya pada isu kerjasama pertahananan dan operasi kontra-terorisme dan juga masalah perdagangan dan investasi di antara kedua negara.
Kemudian pertanyaan lainnya adalah apa yang akan dilakukan Jokowi mengenai tuntutan Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan?
James Massola mengatakan, Presiden Jokowi menanggapi pertanyaan ini dengan menjawab bahwa, Indonesia bukan atau tidak termasuk sebagai negara yang ikut dalam konflik di Laut Tiongkok Selatan, meskipun Natuna Utara diklaim oleh Tiongkok, namun tetap berdialog dengan pihak Tiongkok.
Kemudian pertanyaan terakhirnya adalah megnenai politik dalam negeri.
Ketiga jurnalis SMH ini menyoroti kasus yang menerpa Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Poenama atau Ahok, yang memang dikenal publik sebagai "sekutu" dekat Presiden Jokowi.
Setelah itu, jurnalis SMH menggelontorkan pertanyaan bagaimana politik Indonesia kedepannya dan mempertanyakan bagaimana Presiden Jokowi menghadapi serangan dari kelompok konservatif.
"Tahun lalu kami memiliki 101 pemilihan, tahun ini kami memiliki 171 pemilihan, tahun lalu tidak hanya (pemilihan) di Jakarta, di mana-mana di kabupaten, di kota-kota, di provinsi-provinsi, ada pemilihan tahun ini juga. Ada perbedaan di Jakarta, itu politik," kata Jokowi kepada jurnalis SMH.
"Sekarang, saya pikir orang-orang kita bisa belajar dari pemilihan tahun lalu, tidak hanya dari Jakarta tapi juga dari daerah lain, kota-kota lain, provinsi lain. Orang-orang kita setiap tahun bisa belajar dari pemilihan. Saya yakin politik kita bisa Lebih stabil Di Indonesia, konstitusi kita menghormati kebebasan berbicara dan kebebasan untuk membentuk kelompok," lanjut Jokowi.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menolak anggapan bahwa banyaknya pejuang asal Indonesia yang kembali dari Suriah dan Irak akan membawa masalah di Indonesia.
"Tidak, tidak. Kami adalah negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia Kami memiliki 220 juta Muslim di Indonesia Saya pikir jika hanya ada satu, dua atau tiga orang melakukan ini, sangat kecil, sangat kecil," kata Jokowi.
"Kami Muslim moderat, Muslim toleran, kami Muslim modern. Misalnya 220 juta Muslim... Bayangkan jika hanya 5 persen radikal, atau 10 persen radikal yang berarti 22 juta, 5 persen itu berarti 11 juta," lanjutnya.
"Seperti yang Anda tahu, kami memiliki Muhammadiyah, kami memiliki Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim moderat terbesar kami. Kami, pemerintah, Muhammadiyah dan NU bersama-sama, kita harus mengatakan kepada umat Islam bahwa Islam di Indonesia adalah Islam modern, Islam yang toleran." tegas Jokowi.
Kemudian, Marcus Mietzner dari Universitas Nasional Australia, seorang ahli politik pemilihan Indonesia, mengatakan kepada Fairfax Media untuk tidak mendengarkan jawaban Jokowi tapi untuk "melihat tindakannya".
"Dia berkeliaran di komunitas Islam, dia telah secara dramatis meningkatkan frekuensi kunjungannya ke pesantren, dia menanami pemimpin Islam, berjanji untuk memasukkan komunitas Islam ke dalam distribusi tanah dan mengatasi ketidaksetaraan. Semua ini telah dilakukan untuk mengantisipasi ancaman (politik) terhadapnya," kata Mietzner kepada Fairfax Media, induk perusahaan The Sidney Morning Herald.
Jurnalis SMH ini kemudian membandingkan Presiden Jokowi dengan sosok mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd. Menurut kisah para jurnalis SMH ini, Jokowi dan Rudd memiliki kesamaan, yaitu menikmati sambutan dari warga, sambutan yang terburu-buru, dan meriah.
Namun, menurut James dalam tulisannya ini, Jokowi tidak sepenuhnya seperti Rudd, Jokowi adalah real deal.
Ia berada di dalam kotak untuk mengamankan masa jabatan kedua dan 10 tahun sebagai pemimpin negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia dan ia berusaha melakukan kompromi untuk mencapai tujuannya itu.