TRIBUNNEWS.COM, AMMAN - Ratusan orang berkumpul di dekat kantor Perdana Menteri Yordania di Amman untuk memprotes kenaikan harga dan pajak di negara itu.
Selama tiga hari berturut-turut, para demonstran tersebut melakukan protes terkait peningkatan biaya hidup dan Rancangan Undang-undang (RUU) Pajak Penghasilan yang baru.
Dilansir dari laman Al Jazeera, Minggu (3/6/2018), mereka menyampaikan aksi protes setelah lebih dari 33 serikat pekerja berpartisipasi dalam pemogokan umum yang digelar pada Rabu lalu.
Puluhan serikat itu menuduh pemerintah tengah menutupi gagalnya kebijakan ekonomi di negara tersebut.
Baca: Tak Peduli Ancaman Raja Arab, Rusia Tetap Ngotot Jual Rudal S-400 ke Qatar
Sementara pada Sabtu lalu, kerumunan massa berjalan menuju Bundaran keempat di Amman, dimana menjadi lokasi Kantor Perdana Menteri.
Di sana, mereka meneriakkan slogan anti-pemerintah dan menyerukan agar Perdana Menteri Hani Mulki segera mengundurkan diri.
Ratusan massa Yordania itu juga melakukan protes di wilayah lainnya di negara tersebut, termasuk di provinsi Zarqa, Irbid, dan Ma'an.
Di kantor pemerintahan al-Talifah, para demonstran meneriakkan, "kami tidak akan mau diperintah oleh Bank Dunia,".
Serikat pekerja mengatakan bahwa RUU reformasi pajak yang didorong oleh rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) akan semakin memperburuk penurunan standar hidup.
Namun Mulki sejauh ini masih menolak draft RUU yang didukung oleh IMF itu, ia mengatakan parlemen yang memegang keputusan akhir.
"Mengirim Rancangan Undang-undang (RUU) tidak berarti parlemen akan menyetujuinya," kata Mulki kepada wartawan pada Sabtu kemarin.
Pernyataan tersebut juga ia sampaikan setelah bertemu dengan para pemimpin serikat pekerja.
"Parlemen adalah 'tuannya' sendiri," tambah Mulki.
Perdana Menteri tersebut menyampaikan bahwa akan ada lebih banyak pertemuan yang dilakukan terkait pengambilan keputusan itu.
Namun Kepala Serikat Utama Pekerjaa di Yordania, Ali Obus meminta negara untuk tetap mempertahankan kemandiriannya dan tidak tunduk pada tuntutan IMF.
RUU tersebut mengusulkan bahwa siapapun yang memiliki pendapatan tahunan sebesar 8.000 Dinar atau senilai USD 11.000 atau lebih, harus membayar lima persen kenaikan pajak penghasilannya.
Sementara di sisi lainnya, hal itu juga akan berdampak pada bisnis di negara tersebut, karena akan menghadapi kenaikan pajak yang curam sekira 20 hingga 40 persen.
Undang-undang yang diusulkan merupakan yang terbaru dalam serangkaian reformasi ekonomi, sejak Amman mendapatkan USD 723 M, garis kredit selama tiga tahun yang diberikan IMF pada 2016 lalu.
RUU itu bertujuan untuk mengurangi utang publik Yordania dari 94 persen Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 77 persen pada 2021 mendatang.
Namun 78 dari 130 anggota parlemen, mengeluarkan pernyataan pada Jumat lalu bahwa mereka akan memilih untuk menentang RUU tersebut.
78 anggota parlemen itu mengatakan, RUU pajak penghasilan tidak melayani kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat.