TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Presiden Prancis Emmanuel Macron yang selama ini dianggap sebagai seorang liberal sayap kiri, tampaknya telah mengubah haluannya.
Ia kini mendekati pendahulunya yang bersayap kanan, mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.
Sarkozy memang pernah memimpin Prancis pada 2007 hingga 2012 silam, dan Macron meminta bantuannya untuk menangani protes yang dilakukan secara besar-besaran dan meluas oleh kelompok yang menamakan diri sebagai 'Rompi Kuning'.
Dikutip dari laman Sputnik News, Kamis (20/12/2018), Rompi Kuning hingga kini masih terus melakukan protes di seluruh penjuru Prancis untuk menuntut sejumlah konsesi, termasuk meminta agar Macron mundur dari jabatannya.
Pada 7 Desember lalu, Macron dan Sarkozy telah bertemu di Istana Elysee dalam jamuan makan siang.
Menurut media setempat Le Figaro, kedua politisi itu membahas mengenai ketertiban umum serta pengecualian pajak yang baru-baru ini diumumkan oleh Macron.
Sekitar satu pekan setelah pertemuan, tepatnya pada 16 Desember 2018, Macron dan Sarkozy berangkat menuju Tbilisi, Georgia untuk mewakili Prancis menghadiri pelantikan Presiden baru Georgia, Salome Zurabishvili.
Apa yang dilakukan dua politisi itu tentu saja membuat heboh publik dan lingkaran politik Prancis, seperti yang dilaporkan Reuters.
Alasan resmi Macron untuk memilih Sarkozy sebagai pendampingnya dalam menghadiri pelantikan tersebut adalah karena mediasi yang telah dilakukan seniornya itu pada 2008 silam, selama Perang Tujuh Hari antara Rusia dan Georgia.
Sumber yang dekat dengan Sarkozy mengatakan bahwa ini merupakan cara Macron untuk mengirim sinyal kepada pemilih sayap kanan di Prancis yang selama ini telah dikejutkan munculnya banyak foto yang memperlihatkan mobil yang terbakar di sejumlah kawasan elit Paris.
Selain itu, upaya tersebut juga sengaja dilakukan Macron untuk menenangkan para pengunjuk rasa, tentunya menggunakan 'bayaran' yang mahal.
Seorang Senator sekaligus sekutu dekat Macron, Francois Patriat menjelaskan bahwa rekannya itu memiliki tujuan politik internal dalam rencananya saat 'mengajak' Sarkozy ke Georgia.
Menurut Patriat, Macron berusaha untuk menumbangkan Pemimpin Partai Republik Konservatif, Laurent Wauquiez.
Perlu diketahui, partai tersebut merupakan partai oposisi terbesar di Prancis, yang juga dipimpin oleh Sarkozy.
Sementara itu, pengamat lainnya mencatat bahwa apa yang terlihat saat ini juga menguntungkan bagi Sarkozy.
Banyak pihak yang meyakini bahwa mantan Presiden Prancis itu masih memiliki ambisi politik.
Bekerjasama dengan Macron akan 'mengembalikannya' pada posisi yang akan menjadikannya sebagai pusat perhatian.
Pejabat di Istana Elysee yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa kedua pemimpin tersebut selama ini memiliki hubungan yang hangat dan saling menghormati.
Sarkozy selama ini telah menahan dirinya untuk tidak mengkritik Macron, berbeda dengan Sosialis Francois Hollande yang pernah menjabat sebagai Presiden Prancis pula, periode 2012 hingga 2017.
Hollande bahkan secara terbuka menyatakan dirinya menentang kebijakan Macron sejak dirinya mengakhiri masa jabatannya.
Kendati demikian, hingga kini belum jelas apakah intrik politik tersebut akan mampu membantu meredam bahkan memadamkan kerusuhan nasional yang tengah melanda Prancis.