TRIBUNNEWS.COM - Ratusan mahasiswa Indonesia yang menjalani program beasiswa di Taiwan, dikabarkan menjalani kerja paksa sebagai buruh pabrik, sebagaimana dilaporkan Liberty Times, sebuah koran di Taiwan.
Dikutip dari Taiwan News, 21 Desember 2018, temuan ini diinformasikan oleh seorang legislator (DPR) bernama Ko Chih-en.
Ko Chih-en mengatakan, mahasiswa Indonesia itu berangkat ke Taiwan sebagai bagian dari program beasiswa pendidikan New Southbound Policy (NSP).
Mereka ditampung di sejumlah perguruan tinggi di Taiwan.
Tapi, sebanyak 6 perguruan tinggi di Taiwan, ternyata mengharuskan mereka bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik lensa kontak.
Dalam seminggu, para mahasiswa Indonesia ini hanya menjalani kuliah selama 2 hari.
Kemudian, 5 hari mereka bekerja sebagai buruh pabrik, dan mendapat libur satu hari.
Ko Chih-en, legislator dari Partai Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok), mengatakan, tiap mahasiswa itu harus mengemas 30.000 lensa kontak dalam shift 10 jam kerja, tiap harinya.
Mereka semua berusia di bawah 20 tahun.
Sementara, dilansir China Times, para mahasiswa Indonesia ini menjalani program beasiswa ke Taiwan melalui jasa makelar.
Mereka dilaporkan masuk Taiwan sejak Oktober lalu, menjalani program kelas internasional.
Perkuliahan, disebut hanya berlangsung pada hari Kamis dan Jumat.
Pada Sabtu mereka diliburkan.
Tapi Minggu hingga Rabu, mereka akan dijemput oleh sebuah bus, untuk bekerja di pabrik lensa kontak yang berlokasi di Hsinchu.
Mereka bekerja sejak pukul 7.30 hingga 19.30, dengan 2 jam masa istirahat.
Selama bekerja mengemas lensa kontak, mereka tidak diperbolehkan duduk.
Yang memprihatinkan, Ko mengatakan, kebanyakan mahasiswa Indonesia ini adalah muslim, tapi mereka kerap diberi makanan yang mengandung daging babi.
Menurut Ko Chih-en, sebagian mahasiswa itu sudah memprotes perlakuan itu ke pihak kampus.
Tapi, mereka hanya diberi jawaban, agar bersabar.
Menurut pihak kampus, bila mereka membantu pabrik, maka pabrik akan membantu kampus atau biaya pendidikan mereka.
Ko juga menemukan, dana beasiswa ini disalahgunakan oleh sejumlah perguruan tinggi untuk 'menyunat' dana mahasiswa.
Mereka melakukan kongkalikong dengan makelar.
Makelar yang mencarikan mahasiswa akan mendapat honor yang diambilkan dari dana beasiswa.
Kabarnya, makelar akan mendapat honor sebesar Rp 93 juta, untuk mendatangkan 1.000 mahasiswa yang mengambil program beasiswa ke perguruan tinggi tersebut.
Sementara, lewat program beasiswa New Southbound Policy, pihak kampus mendapat subsidi dana pendidikan dari kementerian Pendidikan Taiwan.
Dilansir South China Morning Post, 3 Januari 2018, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan telah mendengar laporan ini.
Pihak Kemenlu RI telah meminta klarifikasi ke pemerintah Taiwan terkait kabar ini. (*)