TRIBUNNEWS.COM, CARACAS - Tiga bulan pertikaian politik antara Presiden Nicolas Maduro dan pemimpin oposisi Juan Guaido meningkat menjadi ketegangan di antara faksi militer pendukung.
Krisis baru itu terjadi setelah Guaido, yang sebelumnya mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Januari lalu, meminta militer untuk mendukungnya. Dia mengunggah sebuah video do Twitter di mana dia berdiri di depan sekelompok pria berseragam militer di Pangkalan Udara La Carlota dekat Caracas.
Diwartakan Reuters via Newsweek Selasa (30/4/2019), pemerintahan Maduro kemudian menyatakan telah terjadi upaya kudeta dan berjanji bakal menghentikannya.
Mereka menerjunkan Garda Nasional Bolivarian, pasukan paramiliter Venezuela, untuk menghadapi loyalis Guaido dengan saksi mata menuturkan terjadi baku tembak.
Baca: SEJARAH HARI INI 2 Mei Hari Pendidikan Nasional, Kenali 10 Fatwa Ajaran Ki Hadjar Dewantara
Baca: Hasil Assessment Tata Nilai Rekrutmen Bersama BUMN Diumumkan Hari Ini 2 Mei, Cek di Link Ini
Kemudian para pendukung sipil Guaido turun ke jalan dan menggelar demonstrasi dengan pasukan pemerintah berusaha membubarkan mereka menggunakan gas air mata.
Para pendemo yang memadati jalan di Caracas menyerang kendaraan lapis baja itu menggunakan kayu serta batu, membuat paramiliter Venezuela menabrak peserta unjuk rasa.
Baca: Hasil Liga Champions, 2 Gol Lionel Messi Hancurkan Liverpool, Ajax Menang Tipis
Baca: Kelompok Baju Hitam di Bandung dan Simbol Pemberontakan Bakunin
Baca: Ijtima Ulama 3 Minta Jokowi-Maruf Didiskualifikasi, Pengamat: Ini Upaya Delegitimasi KPU
Baca: Hasil Liga Champions - Barcelona vs Liverpool, Sihir Lionel Messi Buat Van Dijk Tak Berdaya
Menteri Pertahanan Vladimir Padrino dalam kicauan di Twitter menyatakan upaya kudeta itu mulai mengalami kekalahan dengan merinci korban dari pemerintah.
Di antaranya adalah Kolonel Garda Nasional Bolivarian Yerzon Jimenez Baez tertembak di bagian leher dan menuduh kelompok oposisi yang harus bertanggung jawab.
Konflik terbaru merupakan tantangan paling serius kepada Maduro yang menyalahkan Amerika Serikat (AS) atas krisis yang terjadi di negaranya. Relasi dua negara di Benua Amerika itu memburuk sejak Presiden Donald Trump menjabat pada 2017 dan menerbitkan sejumlah sanksi ekonomi kepada Caracas.
Para oposisi menyebut hiperinflasi yang berujung kepada kelangkaan makanan hingga obat-obatan merupakan dampak dari kebijakan yang dibuat oleh Maduro.
Sementara pendukung sang presiden berargumen berbagai produk yang seharusnya dialirkan ke Venezuela dihalangi AS yang ingin melenyapkan kekuatan sayap kiri di Amerika Latin.
Gedung Putih telah menyatakan bahwa segala opsi telah dipertimbangkan untuk menggulingkan Maduro dengan sejumlah pejabat seperti Penasihat Keamanan AS John Bolton memantau situasinya.
Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan tim Dewan Keamanan Nasional dengan Kedutaan Besar Rusia di Venezuela menyebut mereka tak akan campur tangan.
Sementara negara pro-Maduro seperti Bolivia, Kuba, Iran, maupun Turki melontarkan kecaman upaya kudeta yang mereka anggap didalangi oleh AS dan sekutunya.