TRIBUNNEWS.COM - Selandia Baru meluncurkan program buyback atau membeli kembali senjata setelah mengesahkan undang-undang baru yang melarang senjata semi otomatis.
Peluncuran program buyback senjata dilaksanakan pada Kamis (20/6/2019) kemarin.
Larangan senjata semi otomatis yang disahkan pada 12 April 2019 lalu dan program buyback senjata ini dilakukan pascaaksi teror penembakan Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019 lalu.
Undang-undang senjata baru yang mulai berlaku pada 12 April 2019 melarang distribusi dan kepemilikan senjata otomatis gaya militer atau bagian-bagian terkaitnya.
Siapapun yang memiliki senjata terlarang sebagaimana disebutkan dalam undang-undang persenjataan tersebut dapat dihukum hingga 5 tahun penjara.
• Sri Lanka Sebut Teror Bom Paskah Lalu Adalah Balas Dendam Atas Penembakan di Selandia Baru
• Brenton Tarrant, Pelaku Teror Penembakan Masjid di Selandia Baru Dikenai Pasal Terorisme
Mengutip laman This is Insider, parlemen Selandia Baru memberikan suara mendukung penegakan hukum senjata yang lebih ketat pada bulan April, hanya beberapa minggu setelah aksi teror penembakan Christchurch.
Menteri Keuangan Grant Robertson dan Menteri Kepolisian Stuart Nash mengumumkan peluncuran program buyback ini dalam pernyataan pers bersama.
Pernyataan tersebut menjanjikan 'kompensasi yang adil' bagi para pemilik senjata berlisensi untuk senjata mereka yang diserahkan selama periode amnesti enam bulan.
"Skema kompensasi menilai para pemilik senjata api berlisensi kini memiliki barang-barang terlarang bukan karena kesalahan mereka sendiri, tetapi karena undang-undang yang disahkan oleh hampir seluruh Parlemen," kata Nash dalam pernyataannya.
Parlemen Selandia Baru mengesahkan reformasi undang-undang persenjataan dengan jumlah suara 119 banding 1 pada April lalu.