TRIBUNNEWS.COM, AUSTRALIA - Ketiba Karen tiba di Bandara Internasional Qingdao hari Sabtu sore untuk terbang ke Australia, suasana di sana tidak karuan.
Padahal dia ingin terbang ke Sydney untuk memulai masa kuliah sebagai mahasiswa.
Namun Karen yang merupakan mahasiswa internasional asal provinsi Shandong di China dilarang untuk check in.
Dia diminta untuk menunggu di ruang kedatangan, dan kemudian mendapat pemberitahuan bahwa penerbangannya ke Australia dibatalkan.
Petugas maskapai mengatakan bahwa Pemerintah Australia sudah memberlakukan larangan terbang bagi warga China, dan Karen diberitahu dia harus menunggu selama dua minggu untuk informasi lebih lanjut.
Seorang mahasiswa fakultas hukum di Sidney yang dikenal dengan nama Ritsu juga seharusnya kembali ke Sydney minggu ini, setelah berlibur dengan keluarganya di China merayakan Tahun Baru Imlek.
Baca: Lokasi Karantina WNI di Natuna Ternyata Dekat dengan Sekolah dan PAUD
Baca: 60 Isu Hoaks Virus Corona, Mahasiswa WNI di Wuhan Tak Boleh Keluar Kamar hingga Buah Kurma
Sekarang, seperti ribuan orang lainnya, Karen dan Ritsu tidak bisa meninggalkan China, dimana virus corona sudah memakan korban tewas lebih dari 400 orang.
Masa depan yang tidak menentu
Bagi banyak mahasiswa internasional asal China, akomodasi, kemajuan akademis, dan bahkan pekerjaan mereka di Australia menjadi tidak menentu.
"Saya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi sekarang," kata Ritsu dengan menggambarkan larangan perjalanan ini sebagai 'tindakan rasis'.
Ritsu sudah tidak pernah keluar dari apartemennya di Xiaogan, yang terletak sekitar 50 km dari pusat kota Wuhan, selama hampir dua minggu.
"Ketika saya mendengar larangan perjalanan yang dikeluarkan Amerika Serikat, saya mulai khawatir," kata Ritsu, dan menduga bahwa Australia akan mengikuti jejak Australia.
Dugaannya ternyata benar.
Stress yang disebabkan karena larangan perjalanan ini tidak saja dirasakan oleh mahasiswa internasional asal China.
Keluarga mereka juga khawatir dengan kemungkinan para mahasiswa tertinggal dari sisi akademis.
"Kakek nenek saya pada awalnya khawatir mengenai penyebaran virus tersebut, namun mereka sekarang juga khawatir apakah saya bisa melanjutkan pendidikan saya," kata Ritsu yang mengatakan dia sudah mendaftar mata kuliah dan membayar uang kuliah untuk tahun 2020.
"Saya cemas setiap hari dan berulang kali mengecek email saya untuk mendapat keterangan terbaru dari universitas saya, namun mereka hanya memberikan keterangan umum," kata Ritsu.
Ritsu juga tidak bisa memulai magangnya dengan sebuah pusat penelitian, dan khawatir apakah dia harus menghentikan studinya di bidang hukum tersebut.
Namun dia masih beruntung. Kerjaannya di sebuah kantor firma hukum tidak terganggu karena firma tersebut berjanji akan tetap memberikan posisi untuknya.
Reaksi berlebihan?
Seorang mahasiswa internasional lain yang dikenal dengan nama Ray saat ini juga menjalani karantina sendiri di rumahnya di Beijing.
Dia marah dengan pemerintah Australia dan mengatakan larangan perjalanan itu 'reaksi berlebihan mengikuti apa yang dilakukan Amerika Serikat'.
Kekhawatiran utamanya adalah mengenai kemungkinan dia tertinggal dalam kuliahnya.
"Saya mahasiswa hukum, dan beberapa unit mata kuliah adalah mata kuliah wajib untuk semester berikutnya," kata Ray.
"Kalau saya ketinggalan satu semester, saya bisa saja harus mengulang satu tahun."
Beberapa mahasiswa internasional lainnya juga khawatie bahwa status visa mereka di Australia terancam bila mereka tidak hadir dalam kuliah yang merupakan bagian dari persyaratan pemberian visa.
Kehadiran di kelas bagi mahasiswa internasional kadang diperlukan sebagai bagian dari persyaratan dan banyak mata kuliah belum memiliki klas online.
Banyak mahasiswa internasional asal China ini melihat adanya 'kesenjangan informasi' antara universitas dan mahasiswa internasional mengenai status mereka saat ini.
Abbey Shi, seorang mahasiswa internasional asal Shanghai, dan sekretaris umum Dewan Mahasiswa di Universitas Sydney sudah membuat kelompok chat di media sosial untuk mengumpulkan data mahasiswa yang menghadapi masalah karena adanya virus corona.
Beberapa universitas di Australia sudah menunda masa pendaftaran, dan juga menawarkan pembatalan pembayaran atau penundaan kuliah kalau mereka tidak bisa kembali pada waktunya.
Namu Shi mengatakan banyak mahasiswa setuju dengan keputusan Monash University di Melbourne yang menunda awal kuliah yang akan dimulai bulan Maret selama dua minggu.
Para mahasiswa internasional asal China juga sudah memulai petisi di change.org meminta agar larangan perjalanan dicabut dan menggambarkan hal itu sebagai tidakan 'gegabah.'
Sampai hari Senin (3/2/2020), petisi itu sudah mendapatkan 11 ribu tanda tangan.
*Beberapa nama dalam artikel ini sudah diganti