TRIBUNNEWS.COM - Turki berencana untuk mendorong pasukan pemerintah Suriah menjauh dari pos pengawasan militernya.
Presiden Recep Tatyyip Erdogan mengatakan, pos tersebut berada di wilayah barat laut Suriah, Idlib.
"Kami berencana untuk membebaskan pos-pos pengamatan kami dari (pasukan pemerintah Suriah) serkitarnya pada akhir bulan ini, dengan satu atau cara lain," kata Erdogan dikutip dari Al Jazeera.
Lebih jauh, Rusia diketahui mengendalikan wilayah udara kawasan tersebut.
Pihaknya juga telah meluncurkan pom kepada pembereontak yang didukung Turki.
Serangan itu dilakukan setiap hari selama berbulan-bulan oleh pasukan pemerintah Suriah.
Baca: Tentara yang Didukung Turki Merebut Kembali Kota Utama di Idlib Suriah
Baca: Serangan Pasukan Suriah Tewaskan 21 Warga Sipil di Idlib, 8 Sekolah jadi Sasaran
Dilaporkan, akibat serangan tersebut, ratusan warga sipil dan hampir satu juta orang di tengah musim dingin yang menggigit harus mengungsi.
Diberitakan sebelumnya, tentata Suriah yang didukung oleh militer Turki merebut kota Nairab di Idlib.
"Waktu yang kami berikan kepada meraka yang mengepung menara observasi kami hampir habis," kata Erdogan.
Pada Rabu (5/2/2020) lalu Edorgan mengatakan pasukan al-Assad harus mundur ke barisan belakang pos pengamatan Turki.
Erdogan juga mengatakan Turki bersikeras membantu warga Suriah yang dipindahkan dari Idlib karena pertempuran hebat.
"Kami tidak akan mengambil langkah terkecil kembali di Idlib, kami pasti akan mendorong rezim di luar perbatasan yang kami tunjuk, dan memastikan kembalinya orang-orang ke rumah mereka," terang Erdogan.
Baca: Tentara yang Didukung Turki Merebut Kembali Kota Utama di Idlib Suriah
Baca: Pasukan Turki Kembali Memasuki Al-Nayrab Idlib Selatan di Tengah Pertempuran Sengit
12 Pos Pengamatan di Zona de-eskalasi
Lebih jauh, Turki mendirikan 12 pos pengamatan di sekitar "zona de-eskalasi" di Idlib.
Hal itu berdasarkan perjanjian 2017 dengan Rusia dan Iran.
Tetapi beberapa sekarang berada di belakang garis depan pemerintah Suriah setelah meluncurkan serangan besar-besaran untuk merebut kubu pemberontak terakhir, tempat bagi lebih dari tiga juta orang.
Sementara itu, Ankara telah mengonfirmasi sebanyak 17 personil keamanan Turki telah tewas.
Erdogan mengatakan Amerika Serikat belum memberikan dukungan kepada Turki di Idlib.
Berdasar laporan koresponden CNN Turk, dia mengatakan perlu berbicara dengan Presiden AS Donald Trump tentang masalah ini lagi.
Baca: 9 Orang Tewas di Turki Setelah Gempa Guncang Wilayah Perbatasan Iran
Baca: Negosiasi Turki-Rusia tentang Idlib Berakhir Tanpa Kesepakatan
Situasi Terburuk
Dengan dukungan dari Rusia, pemerintah al-Assad dan pasukan sekutu dalam beberapa pekan terakhir.
Mereka menekan ofensif besar-besaran terhadap benteng terakhir oposisi terhadap pemerintahannya.
Di tengah musim dingin yang mencekam, operasi militer telah menggusur hampir satu juta orang sejak Desember 2019.
Akibatnya, mereka mencari perlindungan di dekat perbatasan Turki.
Serangan-serangan Suriah dan Rusia telah berulang kali menargetkan sekolah-sekolah dan fasilitas-fasilitas kesehatan di daerah itu.
Baca: Pasukan Turki Mundur Lebih Jauh ke Suriah Timur Laut
Baca: Israel Klaim Serangan Udara Mematikan di Dekat Damaskus dan Jalur Gaza, 2 Orang Tewas
Meskipun ada permintaan dari kelompok-kelompok bantuan dan kekuatan dunia untuk menghormati hukum internasional.
Di Jenewa, Swiss, International Committee of the Red Cross (ICRC) meminta pihak yang bertikai agar memberikan rasa aman bagi warga sipil untuk menghindari serangan itu.
Hal itu mengingatkan bahwa rumah sakit, pasar dan sekolah dilindungi oleh hukum.
"Kami mendesak para pihak untuk mengizinkan warga sipil bergerak ke tempat yang aman, baik di daerah yang mereka kuasai atau melintasi garis depan," kata juru bicara ICRC, Ruth Hetherington.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)