Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, NEW DELHI - Kekacauan (chaos) dan ancaman kelaparan melanda India setelah pemerintahnya merapkan lockdown guna mengantisipasi penyebaran virus corona (Covid-19).
Selasa lalu, Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan lockdown selama 21 hari untuk menahan penyebaran virus yang telah menewaskan 17 orang dan menginfeksi lebih dari 700 lainnya di India.
Saat lockdown diterapkan di negara berpenduduk 1,3 miliar orang tersebut, jutaan orang kehilangan pekerjaan tanpa mendapatkan kompensasi apa pun dari negara.
Keputusan tersebut membuat para pekerja terancam kelaparan karena tidak mempunyai pemaksukan maupun bahan makanan.
Baca: India Alami Kekacauan di Tengah Pandemi Corona, Belum Seminggu Terapkan Lockdown
Meskipun pemerintah menyerukan kepada para pekerja untuk tidak mudik di saat lockdown, gelombang besar eksodus mulai menerpa ibu kota India.
Mereka terpaksa pulang kampung karena pabrik-pabrik dan pusat industri tutup.
Para pekerja tidak punya cukup uang untuk bertahan hidup, mengingat mereka diupah harian.
Pembatasan transportasi umum juga memaksa mereka terpaksa jalan kaki pulang ke desanya.
Baca: India Lockdown, Warga Miskin Tak Takut Virus Corona Tapi Takut Kelaparan
Seorang pekerja meninggal setelah berjalan sejauh 270 mil untuk bisa kembali ke rumah, Pada Sabtu (28/3/2020) kemarin.
Dilaporkan BBC, Akibat keputusan lockdown yang diambil pemerintah India juga menyebabkan jutaan orang telantar tanpa memiliki makanan.
Pemandangan lain terlihat antrean panjang masyarakat berjuang memborong barang dan kebutuhan pokok.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India melaporkan peningkatan kasus infeksi telah stabil setelah lockdown.
"Jumlah kasus Covid-19 meningkat, tapi peningkatannya tampaknya relatif stabil. Namun, ini hanya tren awal," kata seorang juru bicara.
Menurut laporan terbaru oleh Dewan Penelitian Medis India (ICMR), sebanyak 27.688 tes virus corona telah dilakukan pada pukul 09.00 pagi, Jumat (27/3/2020).
Baca: Dampak Lockdown India, Ekonomi Lumpuh dan Pelayanan Publik Ditutup
"Sebanyak 691 orang telah dikonfirmasi positif di antara kasus yang diduga dan punya riwayat kontak dekat dengan pasien positif yang diketahui," demikian pernyataan ICMR.
Meningkatkan fasilitas pengujian
Para ahli juga mengatakan kemampuan India untuk menguji buruk.
Karena itu dia meminta perlu peningkatan kualitas pengujian COVID-19 agar mengetahui persis penyebarannya di India.
"Kita harus menguji siapa pun yang menunjukkan gejala apa pun. Kita tidak dapat membatasi pada kasus rawat inap atau mereka yang memiliki riwayat perjalanan," kata Dr T Sundaraman, penyelenggara nasional Gerakan Kesehatan Rakyat.
"Kami tidak tahu banyak karena tingkat pengujian masih sederhana dan sangat terbatas. Jika pengujian ini diperluas, kita akan menemukan angka nyata yang tidak kami miliki," katanya kepada Al Jazeera.
Menghadapi keadaan darurat kesehatan terbesar sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947 lalu, pemerintah India mengumumkan serangkaian langkah yang dimulai dengan jam malam pada Minggu (29/3/2020).
Pemerintah juga telah meningkatkan fasilitas pengujian dan melibatkan kontraktor swasta untuk membantunya melakukan pengujian.
Dari 72 pusat pengujian pada awalnya, India sekarang memiliki 104, dengan kapasitas untuk menguji 8.000 sampel setiap hari.
Dua laboratorium pengujian cepat lainnya yang dapat melakukan lebih dari 1.400 tes per hari juga diharapkan akan segera beroperasi.
Kekurangan APD dan ventilator
Tidak hanya kemampuan pengujian India yang rendah, di tengah terus meningkatnya kasus COVID-19, negara ini juga menghadapi kekurangan peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung tenaga medis.
Diantaranya kekurangan masker N-95 dan alat pelindung diri (APD) lainnya yang digunakan oleh petugas kesehatan.
Jumlah tempat tidur RS juga masih jauh lebih sedikit daripada negara-negara seperti Korea Selatan--negara yang telah berhasil menekan penyebaran virus.
Ventilator juga terbatas. India memiliki hampir 100.000 ventilator, sebagian besar dimiliki oleh rumah sakit swasta dan sudah digunakan pasien yang punya penyakit kritis. (Al Jazeera/BBC/Reuters/AFP/AP)