TRIBUNNEWS.COM - Peng Zhiyong, seorang dokter senior yang bekerja di unit perawatan intensif (ICU) di Rumah Sakit Zhongnan, Wuhan menceritakan pengalamannya saat menangani wabah virus corona atau Covid-19.
Peng mengaku telah menyaksikan banyak kematian secara 'tak adil', terutama ketika berhadapan dengan wabah Sars yang mematikan pada tahun 2003 dan flu burung pada tahun 2016.
Tetapi Peng mengakui, terkadang dirinya menangis ketika melawan wabah Covid-19.
Terutama ketika rumah sakitnya harus menolak pasien yang sakit kritis karena kekurangan tempat tidur.
Atau bahkan ketika ada pasien yang meninggal dunia, meski ia tahu ada upaya terbaik dari petugas medis untuk menyelamatkan nyawan pasien tersebut.
"Saya tidak bisa tenang dalam menghadapi kematian, tetapi saya harus bekerja sama dengan emosi itu untuk melakukan pekerjaan saya," kata Peng, dilansir South China Morning Post.
Baca: Kabar Baik, Pasien Positif Covid-19 Berusia 76 Tahun di Surabaya Dinyatakan Sembuh
Saat ini, China sudah mulai pulih dari wabah corona secara perlahan.
Tetapi dokter seperti Peng masih harus berjuang untuk menyelamatkan beberapa pasiennya yang kritis.
Diketahui diawal Januari, 600 kasus di negara Cina masih tercatat parah, namun bisa turun dari puncak wabah pada pertengahan Februari.
“Pasien-pasien ini benar-benar sakit."
"Setengah dari mereka akan berjuang untuk berhasil sembuh," ujar Peng yang juga seorang dokter tamu di Rumah Sakit Prince of Wales Hong Kong selama wabah sindrom pernapasan akut (Sars) 2003.
"Tingkat kematian kasus Covid-19 (sekitar 4 persen) lebih rendah dari Sars (sekitar 10 persen)."
"Tetapi begitu dirawat di perawatan intensif, penyakit ini berkembang sama cepat dan serentak dengan Sars," jelas Peng.
Dokter yang telah merawat Sars dan Covid-19 itu mengatakan gejala terakhir dari penyakit itu biasanya menyerang lebih lambat.
Baca: Hingga Selasa Pemprov DKI Catat 18 Ribu Warganya Jalani Rapid Test: 1,7 Persen Positif Virus Corona