TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte mengumumkan pada Jumat (10/4/2020) bahwa Italia akan tetap di-lockdown penuh hingga 3 Mei 2020.
Keputusan tersebut dilakukan demi membendung gelombang infeksi virus corona di Italia.
"Jika kita menyerah sekarang, kita akan mempertaruhkan semua hasil positif sejauh ini, dan memulai kembali peningkatan jumlah kematian," kata Conte yang dikutip Tribunnews dari Al Jazeera.
Untuk diketahui, negara ini telah menghabiskan satu bulan dalam langkah-langkah ketat dengan membatasi pergerakan warganya.
Baca Juga: 100 Dokter di Italia Meninggal Terinfeksi Covid-19, Pemerintah Persiapkan Fase Dua Wabah Di Sana
Baca Juga: 1,6 Juta Lebih Penduduk Dunia Terjangkit Covid-19, Ini 10 Negara Dengan Kasus Tertinggi
Virus corona terdeteksi pertama kali di kota Codogno, pada 20 Februari 2020.
Hingga saat ini, Italia telah mencatat jumlah kematian tertinggi di dunia.
Tingkat Infeksi di Italia Melambat Sejak April
Lebih jauh, tingkat infeksi virus corona dilaporkan telah melambat sejak memasuki April 2020 ini.
Italia yang menghadapi beberapa minggu berjuang dengan lonjakan pasien dalam kondisi kritis telah mendapat beberapa bantuan fasilitas kesehatan.
Satu minggu lalu, ada 4.068 orang dirawat di unit perawatan intensif karena mengidap Covid-19.
Pada Jumat (10/4/2020), jumlah tersebut turun menjadi 3.497.
Lebih lanjut, tren ini membuka ruang spekulasi tentang kemungkinan Italia memasuki fase kedua.
Periode di mana kegiatan ekonomi dibuka kembali, dan warga kembali bebas bergerak.
Apakah Lockdown Italia Berhasil?
Terkait lockdown ini, Profesor Marino Gatto dari Politecnico di Milano angkat bicara.
"Pembatasan mobilitas secara progresif mengurangi kapasitas infeksi hingga 45 persen pada 25 Maret 2020," ungkap Gatto.
Bersama rekan-rekannya dari berbagai universitas, Gatto mengembangkan epidemiologis untuk memahami penyebaran infeksi secara penuh.
Jika bukan karena lockdwon, Gatto yakin rumah sakit tidak bisa mengatasi gelombang pasien yang dirawat.
"Dalam skenario terburuk, fasilitas kesehatan akan menghadapi tambahan 200.000 pasien," katanya.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)