TRIBUNNEWS.COM - WHO hentikan uji coba penggunaan hidroksiklorokuin, obat yang direkomendasikan Presiden AS Donald Trump untuk menangani Covid-19.
Seperti yang diberitakan Arab News, Trump mendorong penggunaan hydroxychloroquine (hidroksiklorokuin) sebagai obat potensial untuk penanganan virus corona, yang telah menginfeksi hampir 5,5 juta orang dan menewaskan 345.000 di seluruh dunia.
Presiden Brasil Jair Bolsonaro juga sangat mempromosikan hydroxychloroquine.
Namun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Senin (25/5/2020) bahwa mereka menghentikan pengujian obat itu setelah penelitian meragukan keamanannya.
Bahkan ada satu studi yang diterbitkan Jumat lalu yang menemukan bahwa obat itu meningkatkan risiko kematian.
Baca: Donald Trump Klaim Rutin Konsumsi Hidroksiklorokuin untuk Cegah Corona
"WHO telah menghentikan sementara uji coba hidroksiklorokuin sementara data keamanan masih terus ditinjau," ujar ketua WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Sementara itu, Trump mengumumkan minggu lalu bahwa ia menggunakan obat itu.
Ia memutuskan untuk mengkonsumsi obat itu setelah menerima surat dari dokter dan orang lain yang menganjurkannya.
"Saya pikir itu bagus. Saya sudah mendengar banyak cerita bagus," kata Trump kepada wartawan saat itu, menyatakan bahwa obat itu aman.
Baca: Studi: Pasien Corona yang Diberi Hidroksiklorokuin Miliki Tingkat Kematian yang Lebih Tinggi
Trump kemudian menolak pendapat para ahli yang telah memperingatkan risiko serius yang terkait dengan hydroxychloroquine.
Food and Drug Administration (FDA) bahkan menyoroti kasus keracunan dan masalah jantung yang dilaporkan akibat obat itu.
Trump telah banyak dikritik karena cara penanganannya terhadap virus, setelah sebelumnya meremehkan ancaman dan berulang kali menolak analisis ilmiah.
Kasus Virus Corona di Seluruh Dunia
Amerika Serikat sejauh ini memiliki angka kematian virus corona tertinggi di dunia, yaitu mencapai 98.218 kasus pada hari Senin (25/5/2020), dengan lebih dari 1,6 juta infeksi dikonfirmasi.
Meskipun ada penangguhan WHO, kementerian kesehatan Brasil mengatakan Senin bahwa mereka akan terus merekomendasikan hydroxychloroquine untuk COVID-19.
"Kami tetap tenang dan tidak akan ada perubahan," kata pejabat kementerian kesehatan Mayra Pinheiro pada konferensi pers.
Bolsonaro adalah penentang keras lockdown, serupa dengan Trump yang meremehkan ancaman virus.
Padahal, Amerika Latin telah menjadi hotspot virus global baru.
Brasil telah melaporkan hampir 375.000 kasus dan lebih dari 23.000 kematian.
Namun jumlah tersebut dianggap jauh lebih sedikit daripada jumlah sebenarnya karena kurangnya pengujian.
Chili juga berada dalam cengkeraman lonjakan virus, dengan catatan hampir 5.000 infeksi dalam 24 jam pada hari Senin.
Sementara Amerika Selatan dan beberapa bagian Afrika dan Asia baru saja mulai merasakan kekuatan penuh pandemi ini, banyak negara Eropa mengurangi penguncian saat wabah mulai dikendalikan.
Di Spanyol yang awalnya terkena pukulan keras, kini telah mencabut lockdown di Madrid dan Barcelona pada hari Senin.
Taman dan teras kafe dibuka untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua bulan.
Di tempat lain, gym dan kolam renang dibuka kembali di Jerman, Islandia, Italia, dan Spanyol.
Tingkat infeksi yang melambat di Yunani memungkinkan restoran untuk melanjutkan bisnis seminggu lebih cepat dari jadwal, meski hanya untuk layanan outdoor.
"Saya senang sekali telah mengakhiri isolasi beberapa bulan terakhir dan terhubung kembali dengan teman-teman," kata pensiunan Giorgos Karavatsanis.
"Kafe di Yunani memiliki dimensi sosial, di situlah jantung distrik berdetak."
Terlepas dari angka yang menggembirakan, para ahli telah memperingatkan bahwa virus corona dapat menyerang kembali dengan gelombang kedua yang lebih mengerikan jika pemerintah dan warga negara ceroboh, terutama saat vaksin belum tersedia.
Pengingat terbaru dari ancaman datang dari Swedia, di mana angka kematian COVID-19 melewati 4.000, angka yang jauh lebih tinggi daripada tetangganya.
Bangsa Skandinavia telah mendapatkan kritik internasional karna tidak menegakkan imbauan "tinggal di rumah" seperti negara-negara Eropa lainnya.
Bagaimanapun juga, lockdown yang berkepanjangan sudah mulai meresahkan warga secara global.
Para pebisnis dan warga negara merasa letih karena dikurung dan menderita kesulitan ekonomi yang luar biasa.
Langkah-langkah stimulus darurat pun telah diperkenalkan.
Pemerintah mencoba untuk memberikan bantuan kepada perekonomi mereka.
Sektor penerbangan dan perhotelan yang sangat terpukul karena adanya larangan bepergian ini.
Lufthansa menjadi perusahaan global besar terbaru yang diselamatkan.
Karena pemerintah Jerman menyetujui bailout 9 miliar euro ($ 9,8 miliar) untuk salah satu maskapai penerbangan terbesar dunia itu.
Tetapi para analis telah memperingatkan bahwa korban ekonomi pandemi akan semakin menyakitkan bagi negara-negara yang jauh lebih miskin daripada negara-negara Barat.
Di Maladewa, tujuan impian bagi pasangan yang berbulan madu, puluhan ribu pekerja asing yang miskin telah terdampar.
Mereka menganggur dan dikucilkan saat negara kecil itu menutup semua resor untuk menghentikan virus.
"Kami butuh uang untuk bertahan hidup. Kami membutuhkan pekerjaan kami," kata Zakir Hossain, pekerja yang sebelumnya bisa mengirim sekitar 80 persen dari upahnya $ 180 sebulan kepada istri dan empat anaknya di Bangladesh sebelum wabah.
"Saya mendengar bahwa jika seorang pekerja Bangladesh meninggal di sini, mereka tidak mengirim tubuhnya kembali dan dia dimakamkan di sini."
"Aku khawatir apa yang akan terjadi jika aku mati," ucapnya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)