TRIBUNNEWS.COM, MINNEAPOLIS - Protes terhadap kematian George Floyd, pria kulit hitam Amerika berusia 46 tahun di Minneapolis semakin meluas.
Ratusan orang di London dan Berlin juga turun ke jalan pada hari Minggu (31/5) dalam solidaritas terhadap demonstrasi yang terjadi di AS.
Isu rasial menyeruak dan para demonstran menuntut keadilan atas kematian pria tanpa senjata yang tewas di kaki polisi kulit putih di Minneapolis.
Seperti dikutip Reuters, Senin (1/6), gelombang protes di Amerika juga terus membesar.
Beberapa demonstrasi berubah menjadi kekerasan ketika demonstran memblokir lalu lintas, membakar dan bentrok dengan polisi anti huru hara.
Beberapa di antaranya menembakkan gas air mata dan peluru plastik dalam upaya untuk memulihkan ketertiban.
Sejatinya bagaimana George Floyd meninggal?
Laporan lengkap oleh pemeriksa medis daerah belum dirilis. Tetapi pengaduan menyatakan bahwa pemeriksaan post-mortem tidak menemukan bukti "asfiksia traumatis atau pencekikan".
Pemeriksa medis mencatat Floyd memiliki masalah jantung. Dan ada kombinasi "efek minuman keras dalam tubuhnya" dan perlakuan ketika dia ditahan oleh petugas "kemungkinan berkontribusi pada kematiannya".
Laporan itu mengatakan, Derek Chauvin, polisi kulit putih berlutut di leher Floyd selama delapan menit dan 46 detik. Hampir tiga menit setelah Floyd menjadi tidak responsif.
Hampir dua menit sebelum dia mengangkat lututnya, petugas lainnya memeriksa denyut nadi tangan kanan Floyd dan mereka tidak dapat menemukannya. Dia dibawa ke Pusat Medis Hennepin dengan ambulans dan dinyatakan meninggal sekitar satu jam kemudian pada hari Senin (25/5).
Chauvin pun telah ditangkap dan didakwa dengan pembunuhan seorang pria kulit hitam tak bersenjata dalam tahanan. Dia dan tiga petugas lainnya juga telah dipecat.
Apa yang terjadi dalam penangkapan?
Petugas polisi mencurigai Floyd menggunakan uang kertas $20 palsu dan polisi berusaha memasukkannya ke dalam kendaraan polisi ketika dia jatuh ke tanah, memberi tahu mereka bahwa dia sesak.