News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rusuh di Amerika Serikat

Pengunjuk Rasa Kematian George Floyd: Kami Tak Butuh Jam Malam, Kami Perlu Keadilan

Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Petugas polisi maju setelah menembakkan gas air mata saat demonstrasi pada 31 Mei 2020 di Atlanta, Georgia. Demonstrasi terjadi setelah kematian George Floyd

TRIBUNNEWS.COM - Para pengunjuk rasa di sekiranya 12 kota AS menentang jam malam yang diberlakukan pada Sabtu malam, (30/5/2020).

Mereka berkumpul di jalan dan meluapkan kemarahan mereka atas kematian George Floyd, pria kulit hitam tak bersenjata yang tewas di tangan polisi.

Dikutip Tribunnews dari Al Jazeera, ratusan pengunjuk rasa berada di Minneapolis, Minnesota, lokasi di mana George FLoyd meninggal pada Senin pekan lalu.

"Kami tak membutuhkan jam malam, kami perlu perubahan," ungkap penduduk Minneapolis yang telah tinggal di sana selama 20 tahun.

Baca: Polisi Pembunuh George Floyd Dipindah ke Oak Park Heights, Penjara Berkeamanan Maksimum

Baca: Tak Ingin Kasus George Floyd Terulang, Paul Pogba Serukan Tindak Rasisme Dihentikan Total

Lebih lanjut, para pengunjuk rasa bertahan di jalanan setidaknya sampai keempat petugas polisi yang terlibat dalam kematian George Floyd didakwa.

Dalam foto yang dirilis Penjara Hennepin County pada 31 Mei 2020, nampak Derek Chauvin ketika diambil tampak depan dan samping. Mantan polisi Minneapolis itu dituding membunuh George Floyd, setelah videonya menindih leher pria kulit hitam berusia 46 tahun selama hampir sembilan menit viral di media sosial. (AFP PHOTO/Hennepin County Jail/HANDOUT)

Sejauh ini, hanya satu petugas, Derek Chauvin, telah ditangkap.

Untuk diketahui, Chauvin, polisi berkulit putih, menindih leher George Floyd selama hampir sembilan menit.

Bahkan ketika George Floy merintih, "Aku tidak bisa bernapas", dan orang-orang di sekitarnya mendesak Chauvin untuk melepaskan George Floyd.

Kematian George Floyd Membangkitkan Luka Lama

Secara terpisah, huru-hara demonstran tidak hanya atas kematian George Floyd.

Tapi juga mengingat luka lama, atas pembunuhan yang dilakukan oknum polisi dan kekerasan terharap orang Afrika-Amerika tak bersenjata.

Pada 2015 lalu, para pengunjuk rasa berdemonstrasi selama lebih dari dua minggu, setelah polisi membunuh Jamar Clark (24) di Minneapolis.

Tak ada tuntutan yang diajukan terhadap petugas polisi yang terlibat.

Tahun berikutnya, Philando Catile (32) terbunuh oleh polisi pada saat pemberhentian lalu lintas di pinggiran kota Saint Paul.

Teman dekat Catile membagikan aksi penembakan di Facebook.

Petugas yang terlibat dalam insiden ini juga dilaporkan dibebaskan dari dakwaan pembunuhan.

Baca: Identitas Pria Bertato Peta Indonesia di Foto Viral Kerusuhan Demo Kasus George Floyd di AS

Baca: Polisi yang Membuat George Floyd Tewas Dipindah ke Penjara Berkeamanan Maksimum

George Floyd Masuk Daftar Orang Kulit Hitam yang Mati di Tangan Polisi

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengutuk aksi pembunuhan komunitas Afika-Amerika yang tidak bersenjata di Amerika Serikat pada Kamis (28/5/2020) lalu.

Michelle Bachelet juga menyerukan agar polisi AS tidak menggunakan kekuatan berlebihan bila tidak ingin dituntut atau dihukum karena kejahatan mereka, dikutip dari The Hill

Michelle merilis pernyataan ini terkait George Floyd yang meninggal setelah ditindih lehernya oleh polisi.

Berdasarkan video yang beredar, Floyd beberapa kali meminta agar polisi Derek Chauvin melepaskan lehernya itu.

"Tolong, aku tidak bisa bernapas," ucap Floyd lirih.

Baca: Reporter CNN Ditangkap Petugas saat Siaran Langsung Aksi Protes George Floyd

Baca: Polisi yang Menindih Leher George Floyd hingga Meninggal Didakwa Pembunuhan

George Floyd (cbs)

Namun, Chauvin tetap pada posisinya selama kurang lebih 9 menit dan pada Jumat (29/5/2020) dia sudah didakwa pembunuhan.

"Ini adalah yang terbaru dalam garis panjang pembunuhan orang-orang Afrika-Amerika yang tidak bersenjata oleh polisi AS dan anggota masyarakat," kata Bachelet.

"Saya kecewa harus menambahkan nama George Floyd diantara Breonna Taylor, Eric Garner, Michael Brown, dan banyak orang Afrika-Amerika tak bersenjata lainnya yang telah meninggal selama bertahun-tahun di tangan polisi."

"Serta orang-orang seperti Ahmaud Arbery dan Trayvon Martin yang dibunuh oleh anggota publik yang bersenjata," jelas Michelle menyebutkan daftar orang-orang yang senasib dengan George Floyd.

Komisioner menyerukan otoritas AS untuk mengambil tindakan serius untuk menghentikan pembunuhan pada komunitas minoritas ini.

"Prosedur harus diubah, sistem pencegahan harus diberlakukan, dan diatas semua, petugas polisi yang menggunakan kekuatan berlebihan harus dituntut dan dihukum karena kejahatan yang dilakukan," tulisnya.

Baca: Tuding Tak Ada Reformasi, Donald Trump Nyatakan AS ke Luar dari WHO

Meski Michelle menyambut baik penyidikan insiden Floyd, dia juga menyangsikannya.

Berkaca pada kejadian serupa di masa lalu, penyidikan berujung pada pembunuhan dibenarkan dengan alasan yang dipertanyakan.

Atau bahkan hanya ditangani dengan pemberian sanksi administratif.

"Peran yang dimainkan dan menyebar luas dalam diskriminasi rasial dalam kematian seperti itu juga harus diperiksa, diakui, dan ditangani dengan baik," ujar Michelle.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini