TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Lebih dari 50 persen warga Amerika Serikat (AS) ingin melihat pasukan militer negara itu dikerahkan ke jalan-jalan di kota-kota AS untuk membantu polisi mengatasi eskalasi kerusuhan yang terus meningkat di seluruh negeri, pasca kematian George Floyd.
Dikutip dari laman Russia Today, Rabu (3/6/2020), situasi AS saat ini memang sangat mencekam.
Gelombang protes besar-besaran terjadi selama lebih dari sepekan, saat ratusan ribu orang turun ke jalan dan menyerukan keadilan bagi Floyd.
Floyd merupakan warga keturunan Afrika-Amerika yang tewas akibat mendapatkan tekanan lutut seorang polisi pada bagian lehernya selama lebih dari 8 menit, hingga menyebabkannya mati kehabisan nafas di Minneapolis.
Walaupun tampak bahwa banyak warga di AS yang bergabung dalam aksi protes itu, namun sebagian besar orang Amerika mengakui bahwa mereka tidak akan keberatan dengan dikerahkannya militer untuk membantu polisi dalam menangani aksi protes yang telah berubah menjadi kerusuhan dan bentrokan keras di banyak kota di negara itu.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan antara 31 Mei dan 1 Juni oleh perusahaan intelijen data, Morning Consult menunjukkan bahwa sebanyak 58 persen orang Amerika menyetujui gagasan tersebut.
Sementara sepertiga responden menyatakan 'sangat mendukung', kemudian hanya 30 persen yang menentang sampai batas waktu tertentu untuk pengerahan pasukan.
Survei ini mengandalkan sampel nasional dari 1.624 pemilih terdaftar yang diwawancarai secara online.
Pada saat yang sama, jajak pendapat lain yang dilakukan oleh perusahaan yang sama selama periode yang sama juga mengungkapkan bahwa 54 persen orang di AS mendukung berlangsungnya aksi protes.
Persentase yang menyebut bahwa kekerasan polisi terhadap publik sebagai masalah yang lebih besar dibandingkan kekerasan terhadap hukum pun hampir sama jumlahnya.
Warga keturunan Afrika-Amerika tampaknya sangat khawatir dengan kekerasan yang dilakukan polisi, karena 85 persen dari demografi ini mendukung pernyataan tersebut.
Perlu diketahui, aksi unjuk rasa dan demonstrasi solidaritas terhadap Floyd dan warga Afrika-Amerika lainnya yang terbunuh oleh tindakan kekerasan polisi saat ini telah menyebar ke ratusan kota di 50 negara bagian AS.
Para pengunjuk rasa ini terus menuntut keadilan bagi para korban.
Sementara polisi yang membunuh Floyd, sejak saat itu telah dipecat dari keanggotaannya.
Bahkan ia ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan tingkat tiga dan pembunuhan tingkat dua.
Kendati demikian, tindakan hukum terhadap oknum polisi itu tidak memadamkan aksi protes.
Beberapa aksi memang berlangsung damai, namun dalam banyak kasus, ketegangan meningkat dan demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, serangan terhadap polisi serta penjarahan.
Menanggapi aksi yang berubah menjadi kerusuhan ini, Presiden AS Donald Trump telah mengerahkan pasukan militernya ke ibu kota AS, Washington DC setelah protes besar-besaran terjadi pula di dekat kompleks Gedung Putih.
Kerusuhan itu bahkan telah memaksanya untuk sementara diungsikan ke bunker yang ada di Gedung Putih.
Ia juga mengancam akan mengirimkan pasukan militer ke negara bagian lainnya juga, jika aksi protes berujung kerusuhan itu tidak dihentikan.