TRIBUNNEWS.COM - Korea Utara telah meledakkan kantor penghubung antar-Korea yang berada di wilayah perbatasan, Kaesong, pada Selasa (16/6/2020).
Insiden ini terjadi setelah sebelumnya adik Kim Jong Un, Kim Yo Jong, mengancam Korea Selatan.
"Tak lama, sebuah adegan tragis dari kantor penghubung bersama Utara-Selatan tak berguna yang benar-benar runtuh akan terlihat," kata Kim Yo Jong pada akhir pekan, dilansir AFP.
Kantor penghubung antar-Korea didirikan pada September 2018 berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak selama pertemuan puncak pertama antara Moon Jae In dan Kim Jong Un, 27 April.
Lalu, apa alasan Korea Utara meledakkan kantor penghubung antar-Korea tersebut?
Baca: 3 Hari Setelah Kim Yo Jong Ancam Korsel, Korut Ledakkan Kantor Penghubung antar-Korea di Perbatasan
Baca: Militer Korsel Tebar Ancaman, Korut akan Bayar Jika Tindakan Militernya Terus Meningkat
Dikutip Tribunnews dari BBC, sejumlah ahli memberikan pendapatnya.
1. Ankit Panda, penulis Kim Jong Un and the Bomb: Survival and Deterrence in North Korea
Hancurnya kantor penghubung sesaat setelah peringatan ke-20 KTT antar-Korea pertama kalinya, menjadi pengingat tentang cara kerja sama Korea Utara dan Korea Selatan telah salah di masa lalu.
Tak hanya itu, kemajuan dua pihak yang dicapai pada 2018 lalu mengalami kemunduran pesat.
Dalam beberapa hari mendatang, kita mungkin akan melihat langkah lain yang diambil Korea Utara.
Bisa saja berkisar latihan militer yang provokatif, penembakan peluru artileri secara langsung ke wilayah Korea Selatan, atau langkah-langkah untuk membalikkan pencapaian Perjanjian Militer Komprehensif antar-Korea yang dibuat pada September 2018.
Tujuan strategis dibalik provokasi ini masih banyak yang tak jelas.
Pyongyang mungkin berusaha menciptakan krisis untuk mendorong Presiden Korea Selatan, Moon Jae In, maju dalam proyek-proyek kerjasama ekononi antar-Korea.
Secara terpisah, provokasi ini dan lainnya yang akan datang, mungkin terkait upaya internal Korea Utara untuk membangun legitimasi lebih lanjut bagi Kim Yo Jong, adik Kim Jong Un.