Perubahan orientasi Turki ini menandai terobosan bersih dari tahun-tahun awal pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang berkisar pada doktrin "nol masalah dengan tetangga".
Doktrin ini dikembangkan Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu. Namun rentetan “Arab Spring” mengubah peta.
Ada semacam kekosongan yang ditinggalkan AS setelah menarik diri dari Irak pada 2011. Turki mulai mempertimbangkan pendekatan regional atau kawasan.
Arah baru itu juga didesak berbagai kekuatan regional untuk menentukan efek berbagai pemberontakan Arab antara 2010-2011.
Konflik 2015 melawan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang telah angkat senjata di Turki selama lebih dari 40 tahun, juga menjadi pemicu.
DItambah lagi usaha kudeta gagal Juli 2016 di Istanbul dan Ankara. Pemerintah Erdogan memandang ancaman eksternal terhadap stabilitas domestik semakin serius.
Pada 2017, konstitusi Turki diamandemen untuk memberi presiden kekuasaan besar di bidang kebijakan luar negeri dan keamanan.
Konstitusi baru ini memungkinkan Presiden Tayyip Erdogan mengejar strategi regional yang lebih tegas.
Perubahan besar pertama dalam kebijakan terjadi terkait konflik Suriah. Pada 2016, Ankara menyadari telah kehilangan kesempatan untuk menentukan hasil akhir konflik Suriah.
Meskipun memiliki perbatasan 900 km (559 mil), Turki jelas gagal mencapai salah satu tujuan kebijakan utamanya dalam perang saudara Suriah.
Ankara menargetkan bisa mendongkel Presiden Bashar al-Assad, dan mendorong munculnya pemerintahan baru yang bersahabat di Damaskus.
Sebaliknya, Rusia dan Iran, yang keduanya tidak berbagi perbatasan dengan Suriah, lebih berhasil mengamankan kepentingan mereka di negara yang dilanda perang tersebut.
Mereka berhasil menyelamatkan Bashar Assad dari kehancuran, dan menghentikan kemajuan oposisi (kelompok pemberontak) yang didukung Turki.
Menyusul intervensi militer Rusia pada September 2015 ke Suriah, kemampuan Turki memengaruhi jalannya konflik semakin dikurangi.