Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kelompok kerja nasional Gubernur Jepang mengakui adanya diskriminasi terhadap beberapa korban yang terinfeksi virus corona di Jepang.
"Ketika saya mendengar laporan adanya diskriminasi, saya menyadari masalah bagaimana menangani diskriminasi di masa-masa awal ketika banyak orang sangat cemas. Saya ingin membahas langkah-langkah ideal untuk mencegah korban diskriminasi seperti ini," ungkap seorang ketua kelompok kerja, Hitomi Nakayama, Jumat (16/10/2020).
Diskriminasi tidak sedikit dilakukan lewat media sosial. Namun menurutnya di sisi lain, di media sosial dan internet, juga terdapat suara-suara yang mendorong dan mendukung sekolah.
Bulan Oktober ini, Gabungan Gubernur Nasional mensurvei 47 prefektur tentang cara menghadapi prasangka dan diskriminasi.
Hasilnya, 37 pemerintah daerah telah membentuk semacam meja konsultasi, dan 10 di antaranya membentuk meja konsultasi khusus terjangkit virus corona termasuk telah menyiapkan meja konsultasi khusus untuk diskriminasi hubungan.
Baca juga: PM Jepang Yoshihide Suga Persembahkan Masakaki ke Kuil Yasukuni Sebelum Bertolak ke Indonesia
Selain itu, 26 pemerintah daerah menjawab bahwa mereka menerapkan langkah-langkah seperti patroli penulisan yang tidak tepat di media sosial dan internet dan meminta penghapusan.
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Suzuki dari Perfektur Mie melaporkan bahwa untuk menyelamatkan para korban, setiap prefektur perlu berbagi pengetahuan dan mengambil tindakan jangka panjang berdasarkan dukungan finansial.
Berdasarkan laporan tersebut, kelompok kerja akan menyusun laporan tentang langkah-langkah yang diperlukan di masa mendatang.
Pada rapat pokja, situasi aktual diskriminasi yang diderita oleh pihak-pihak terkait juga dilaporkan dari sekolah menengah di mana terjadi kelompok orang terinfeksi (klaster).
Menurut laporan, segera setelah wabah kluster dilaporkan, 100 pesan dikirimkan ke sekolah yang bersifat diskriminasi atau bully seperti kata-kata "pembunuhan", "ke luar sana dari area ini", "pendidikan macam apa yang anda berikan?" dan sebagainya.
Saat semua siswa menahan diri untuk ke luar rumah, hoax yang berbeda dengan fakta seperti "siswa bekerja paruh waktu di supermarket" dan "siswa nongkrong di depan toko" mengalir di media sosial.
Akibatnya muncul pengaduan tentang kerugian yang disebabkan oleh rumor atau hoax tersebut.
Baca juga: Sejumlah Orang Dekat Paus Fransiskus Dikabarkan Kena Virus Corona
Menurut pihak SMA, siswa yang menunggu di rumah memiliki lebih banyak waktu untuk menggunakan smartphone mereka dan memiliki lebih banyak kesempatan untuk melihat penyakit di internet, sehingga mereka terus dapat mengasuh siswanya di SMA.
Sementara itu telah terbit Buku "Rahasia Ninja di Jepang", pertama di dunia cerita non-fiksi kehidupan Ninja di Jepang dalam bahasa Indonesia, silakan tanyakan ke: info@ninjaindonesia.com