Seorang peserta pelatihan menggenggam wadah nitrogliserin, mencoba membawanya keluar ruangan. Tepat di luar pintu, benda itu meledak.
Tangan orang itu cedera berat. Begitu pula matanya. “Apakah dia selamat?” tanya Nasiri. “Ya, dia sekarang tinggal di London. Namanya Abu Hamza,” jawab Asadullah.
Nasiri tidak tahu siapa lelaki yang disebut mentornya. Tapi kelak, orang itulah yang akan menjadi sosokpenting dalam hidupnya.
Abu Hamza, seorang pendakwah kondang di London yang tangannya dipasangi kait penjepit. Ceramah-ceramahnya sangat provokatif dan sangat merepotkan pemerintah Inggris.
Kamp Darunta pada akhirnya dikenal sebagai pusat pelatihan peledakan yang dijalankan Al Qaeda. Di sinilah pakar bom Abu Khabab al-Masri merekrut dan melatih calon-calon pengebom bunuh diri.
Kreasi bomnya luar biasa, dari bom rakitan konvensional hingga biologi kimia. Al Masri melatih Ahmed Ressam, yang tertangkap membawa truk penuh bom di perbatasan Kanada-AS pada 1999.
Ia juga melatih Richard Reid, pelaku bom sepatu yang terbang dari Eropa menuju AS. Serta melatih Zacarias Moussaoui, si pembajak abad 20.
Tahun 2006, AS mengklaim menewaskan al-Masri lewat serangan pesawat tak berawak Predator di Damadola, Pakistan.
Nasiri tak pernah melihat wajah atau memiliki foto al-Masri. Tapi ia yakin orang itulah yang pernah ia lihat memasuki laboratorium bom di kamp Darunta.
Setahun setelah melebur di kamp Al Qaeda di Khaldan dan Darunta, kini tiba bagi Omar Nasiri untuk meninggalkan Afghanistan. Ia digadang-gadang melakukan misi khusus, menyusup ke Eropa.
Meninggalkan Darunta bersama Sheikh Ibn al-Libi, mereka menuju Peshawar, Pakistan. Melintasi perbatasan Afghanistan-Pakistan begitu berbahayanya.
Sentimen antiArab sedang meluap. Aparat keamanan memburu orang-orang Arab yang diduga terkait pengeboman Kedubes Mesir di Islamabad beberapa waktu sebelumnya.
Pengeboman itu memang dikendalikan dari Afghanistan, termasuk pelakunya yang orang-orang Mesir, disiapkan di kamp Darunta.
Omar Nasiri telah berada di Peshawar. Ia bertemu Abu Zubaydah, menerima paspor dan semua perbekalannya. Ia diberi uang untuk membeli tiket ke Istanbul, Turki.
Zubaydah dan Sheikh Ibn al-Libi meminta Nasiri membuat sel baru di Eropa. Mereka merasa Nasiri lah orang paling tepat untuk tugas itu, melihat pribadinya yang sangat Eropa.
Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Omar Nasiri meninggalkan Peshawar, menumpang kendaraan menuju Islamabad. Ia lalu terbang dan mendarat selamat di Istanbul. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga – Bersambung)