News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilihan Presiden Amerika Serikat

Hakim di Georgia dan Michigan Tolak Upaya Hukum Donald Trump Terkait Pelaksanaan Pilpres Amerika

Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ekspresi Donald Trump ketika mengunjungi markas kampanyenya di Arlington, Virginia, 3 November 2020. Amerika yang terpecah akan pergi ke tempat pemungutan suara pada hari Selasa di tengah pandemi terburuk dalam satu abad dan krisis ekonomi untuk memutuskan apakah akan memberi Presiden Donald Trump empat tahun lagi atau kirim Demokrat Joe Biden ke Gedung Putih. Jumlah pemungutan suara awal yang memecahkan rekor - lebih dari 100 juta - telah diberikan dalam pemilihan yang membuat negara itu gelisah dan sedang diawasi dengan ketat di ibu kota di seluruh dunia. Biden sementara mengungguli Trump dalam perhitungan sementara.

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Hakim di Georgia dan Michigan menolak tuntutan hukum Tim Kampanye Donald Trump terkait pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS), Kamis (5/11/2020).

Keputusan hakim tersebut membuat strategi hukum Tim Kampanye Donald Trump yang menyerang integritas pemilu di Amerika Serikat (AS) menjadi lemah.

Keputusan muncul saat pesaing Donald Trump, Joe Biden semakin mendekati 270 suara electoral college yang dibutuhkan untuk memenangkan kursi menjadi Presiden AS.

Sementara itu di Pennsylvania, Tim Kampanye Trump memenangkan putusan banding.

Baca juga: Tuding Ada Penipuan Saat Penghitungan Suara, Tim Kampanye Donald Trump Berniat Tuntut Nevada

Gugatan hukum di Pennsylvania dibuat untuk meminta, agar pengamat dari partai Republik mendapatkan akses pada penghitungan surat suara di Philadelphia.

Tapi keputusan itu tidak mempengaruhi penghitungan surat suara yang sedang diproses di Pennsylvania.

Pengacara kampanye Biden, Bob Bauer, menyebut gugatan hukum Partai Republik itu tidak ada gunanya.

“Saya ingin menekankan bahwa tujuan mereka dari tuntutan hukum ini tidak ada manfaatnya. Bukan itu tujuan mereka sebenarnya. Tuntutan ini hanya untuk menciptakan kesempatan bagi mereka untuk memberi pesan yang salah tentang apa yang terjadi dalam pemilu," kata Bauer, Kamis (5/11/2020).

Ia menuding tim kampanye Trump terus-menerus menuduh adanya penyimpangan, kegagalan sistem, dan penipuan dalam pemilu AS.

Baca juga: Biden Ungguli Trump, Gejolak Masyarakat AS terhadap Hasil Pilpres Dinilai Tak Sebesar di Indonesia

Menurutnya tuduhan tim kampanye Trump ini tidak memiliki dasar.

Biden mengatakan pada hari Rabu bahwa penghitungan harus dilanjutkan di semua negara bagian.

"Tidak ada yang bisa mengambil demokrasi dari kita. Tidak sekarang dan tidak selamanya," ujar Biden seperti dilansir dari the Associated Press.

Tetapi pejabat kampanye Trump menuduh Demokrat mencoba mencurangi pemilihan, meskipun tidak ada bukti bahwa kecurangan telah terjadi.

Manajer kampanye Trump, Bill Stepien, mengatakan bahwa setiap malam presiden tidur dengan membawa bukti.

Baca juga: Massa Anti-Trump Pecahkan Jendela Bangunan di Portland Saat Pemilu Presiden AS, 9 Orang Ditangkap

Menurutnya, setiap malam ada suara baru yang ditemukan secara misterius di dalam kantong pemilihan.

Juru bicara kampanye Trump, Jason Miller, mengatakan mereka akan melakukan tindakan hukum tambahan. Tindakan ini difokuskan untuk memberi akses pada tim kampanye mereka untuk bisa ikut mengawasi jalannya penghitungan suara.

"Kami benar-benar akan mengawasi setiap penghitungan suara," katanya tentang penghitungan suara di Nevada yang diperebutkan dengan ketat.

Tim Kampanye Trump juga mengumumkan akan meminta penghitungan ulang di Wisconsin.

Stepien sebelumnya menyebut ada ketidakberesan di beberapa kabupaten Wisconsin, namun dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut, di daerah mana kecurangan telah terjadi.

Ditentukan Electoral Collage

Pemilihan presiden Amerika Serikat ( pilpres AS) berlangsung pada 3 November 2020.

Sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik ( popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).

Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.

Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.

Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.

Kata "college" di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.

Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.

Bagaimana cara kerja Electoral College?

Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.

Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.

California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.

Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.

Biasanya negara bagian memberikan semua suara Dewan Elektoral untuk capres yang memenangkan suara dari popular votes.

Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.

Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.

Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode "distrik kongresional".

Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.

Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.

Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?

Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.

Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.

Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.

Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.

Sebagian dari artikel ini telah tayang di kompas.tv dengan judul  Hakim Tolak Klaim Trump di Georgia dan Michigan

>
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini