Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Sebuah RUU yang bertujuan untuk mengurangi komitmen nuklir Iran yang diusulkan oleh kaum konservatif dan garis keras di parlemen negara itu baru saja menyelesaikan hambatan terakhirnya.
Undang-undang Strategis untuk Mencabut Sanksi dari negara Barat ini telah disetujui oleh 12 anggota Dewan Penjaga Badan Pemeriksaan Iran.
Persetujuan yang diberikan pada Rabu lalu ini tergolong cepat, meskipun ada tentangan dari pemerintah Iran sendiri.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Jumat (4/12/2020), beberapa jam sebelum Badan Pengawas Iran menyetujui Undang-undang tersebut, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa RUU ini akan 'berbahaya' bagi upaya diplomatik negara itu.
Upaya diplomatik tersebut, kata Rouhani, bertujuan untuk memulihkan kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani Iran dan sejumlah negara yang memiliki kekuatan di dunia.
Anggota kabinet moderat Rouhani bahkan menegaskan, hanya Dewan Keamanan Nasional Tertinggi yang memiliki tanggung jawab untuk memutuskan tindakan terkait nuklir Iran.
Baca juga: Tak Butuh Waktu Lama, Iran Berhasil Identifikasi Pelaku Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Mohsen Fakhrizadeh
Namun anggota parlemen yang murka terhadap aksi pembunuhan terhadap Ilmuwan nuklir terkemuka Iran Mohsen Fakhrizadeh pada hari Jumat lalu, terus maju tanpa mempedulikan apa yang disampaikan Rouhani dan kabinetnya.
Anggota parlemen Iran merasa kurang puas dengan tanggapan dari pemerintahan Rouhani terkait aksi pembunuhan terhadap Fakhrizadeh.
Di sisi lain, pada Rabu lalu, Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan bahwa ia masih berkomitmen pada janjinya untuk kembali ke kesepakatan nuklir.
Namun seperti apa isi dari RUU yang diajukan parlemen Iran?
RUU parlemen berupaya memaksa 'tangan Barat' untuk kembali mematuhi sepenuhnya kesepakatan nuklir yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) itu.
Ini bertujuan untuk memuluskan harapan Iran, termasuk menghentikan inspeksi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), meningkatkan pengayaan uranium Iran, serta merevitalisasi pabrik Fordow.
Berikut isi RUU yang dimuat ICANA, kantor berita resmi parlemen Iran:
Inspeksi IAEA
Badan Pengawas Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa rutin melakukan ratusan inspeksi mendadak terhadap situs nuklir Iran setiap tahunnya.
Anggota parlemen Iran menginginkan penghentian total inspeksi tersebut jika persyaratan mereka tidak dipenuhi.
RUU mereka menyebut Jerman, Prancis, Inggris Raya, China dan Rusia harus bekerja untuk menormalisasi hubungan perbankan, mencabut sanksi atas minyak Iran dan ekspor lainnya, serta segera mengembalikan pendapatan dari penjualan.
Namun ini tidak berlaku bagi AS yang telah menarik diri dari perjanjian tersebut pada 2018 lalu.
Jika negara-negara itu tidak melakukannya dalam jangka waktu dua bulan sejak Undang-undang tersebut diberlakukan, maka pemerintah Iran wajib untuk berhenti secara sukarela dalam menerapkan Protokol Tambahan.
Baca juga: Kazan, Kapal Selam Nuklir Tercanggih Buatan Rusia dengan Daya Tempur Mematikan
Karena Protokol Tambahan memberikan wewenang bagi IAEA untuk melakukan inspeksi yang luas.
Ketua parlemen Mohammad Bagher Ghalibaf mengatakan pada hari Selasa lalu, bahwa Undang-undang itu akan mengakhiri 'permainan sepihak'.
Ia menegaskan, secara resmi parlemen mengkomunikasikan RUU yang disetujui ini kepada Rouhani.
Rouhani pun memiliki waktu beberapa minggu untuk benar-benar menerapkan RUU tersebut.
Pengayaan dan timbunan uranium
Dalam waktu dua bulan setelah Undang-undang tersebut diterapkan, pemerintah Iran diwajibkan untuk memperkaya setidaknya 120 kg uranium dengan kemurnian 20 persen di pabrik Fordow dekat kota Qom.
Organisasi Energi Atom Iran kemudian berkewajiban untuk segera meningkatkan cadangan uranium yang diperkaya rendah, setidaknya 500 kg setiap bulannya untuk setiap penggunaan di negara itu.
Saat ini bahkan setelah secara bertahap mengurangi komitmen nuklir sebagai tanggapan atas pengingkaran AS terhadap kesepakatan itu, Iran telah memperkaya uraniumnya hingga 4,5 persen.
Angka ini lebih tinggi dari 3,67 persen yang disepakati sebagai bagian dari perjanjian nuklir.
Namun jauh lebih rendah dari 90 persen kriteria pengayaan tingkat senjata.
Mesin sentrifugal
RUU parlemen juga mewajibkan pemerintah untuk memasang dan mengoperasikan setidaknya 1.000 sentrifugal IR-2M di fasilitas nuklir bawah tanah Natanz dalam waktu tiga bulan.
Pemerintah juga harus memulai pengayaan di pabrik Fordow dengan setidaknya 164 sentrifugal IR-6 canggih dan meningkatkan jumlahnya menjadi 1.000 dalam waktu satu tahun setelah Undang-undang tersebut diterapkan.
Organisasi Energi Atom negara itu juga harus mengoperasikan pabrik untuk memproduksi ferrouranium, paduan besi dan uranium, di Isfahan dalam jangka waktu lima bulan.
Mereka juga harus merevitalisasi reaktor air berat Arak, yang sekarang sedang direstrukturisasi sebagai bagian dari kesepakatan nuklir, ke kondisi sebelum dilakukannya kesepakatan, tenggat waktu yang diberikan adalah empat bulan.
Ini harus dibarengi dengan upaya membangun reaktor baru yang serupa namun menghasilkan kekuatan yang sama agar bisa memproduksi radioisotop untuk penggunaan di rumah sakit.
Baca juga: Eropa Didesak Tetapkan Peta Jalan Kesepakatan Nuklir Iran dan Tarik AS untuk Rekonsiliasi
Jalan kembali
RUU parlemen memberikan gambaran 'jalan kembali' ke kesepakatan nuklir, dengan syarat bahwa penandatangan lain yakni negara kekuatan dunia sepenuhnya melaksanakan komitmen mereka.
Ini mewajibkan pemerintah Iran untuk mengajukan laporan rinci tentang langkah-langkah yang akan dilakukan penandatangan lainnya dalam waktu dua bulan setelah Iran mengurangi komitmennya.
Jika dianggap memuaskan, pemerintah Iran akan mengusulkan rencana tindakan untuk kembali ke komitmen kesepakatan, yang akan ditinjau oleh parlemen negara itu selama satu bulan.
Terakhir, parlemen Iran telah mempertimbangkan hukuman berdasarkan Undang-undang, jika pemerintahan Rouhani menolak untuk melaksanakan isi RUU tersebut.