TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Beberapa waktu belakangan, ditemukan fakta bahwa virus corona baru penyebab penyakit COVID-19 telah muncul terlebih dahulu di Eropa sebelum merebak di China.
Kini ditemukan tanda bahwa virus juga telah muncul lebih dahulu di AS.
Dikutip dari South China Morning Post, peneliti dari Centres for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkapkan bahwa sampel darah yang diambil di AS dari 13 Desember tahun lalu mengungkapkan bukti antibodi untuk virus COVID-19, yang dikenal sebagai Sars-Cov-2.
Sampel tersebut diambil lebih dari dua minggu sebelum wabah COVID-19 dikonfirmasi secara resmi di Wuhan pada 31 Desember 2019.
Baca juga: Diangkut Pakai Garuda, 1,2 Juta Vaksin Covid-19 Tiba di Indonesia dari China
Sampel juga muncul sebulan lebih awal dari kasus pertama COVID-19 di AS.
"Adanya antibodi serum ini menunjukkan bahwa infeksi Sars-CoV-2 mungkin telah terjadi di bagian barat Amerika Serikat lebih awal daripada yang diketahui sebelumnya," ungkap CDC melalui jurnal ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal peer-review Clinical Infectious Diseases seperti dikutip Kontan.co.id, Minggu (6/12/2020).
Menurut laporan CDC, para peneliti menguji 7.389 sampel darah yang dikumpulkan antara 13 Desember 2019 hingga 17 Januari 2020, sampel berasal dari sejumlah negara bagian berbeda.
Melalui serangkaian uji coba, ditemukan 106 orang bereaksi terhadap tes antibodi Sars-CoV-2.
Dari jumlah tersebut, 39 dikumpulkan antara 13 dan 16 Desember 2019, sedangkan sisanya diambil antara 20 Desember 2019 dan 17 Januari 2020.
Temuan baru ini mendukung hasil temuan sebelumnya yang diterbitkan di Italia bulan lalu.
Penelitian di Italia menemukan adanya tanda virus corona pada sampel darah yang diambil pada September 2019 lalu.
Sejalan dengan itu, hasil swab seorang pasien rumah sakit di Prancis yang diambil pada 27 Desember 2019 juga menunjukkan adanya virus Sars-Cov-2.
Kedua set sampel di Eropa tersebut diambil sebelum virus diidentifikasi di Wuhan, menambah perdebatan politis tentang asal-usul virus corona.
Laporan terbaru dari CDC ini diharapkan bisa membantu tugas tim khusus WHO yang saat ini sedang mencoba mencari tahu dari mana penyakit itu berasal.
Menurut WHO, penelitian itu berupaya untuk menemukan spesies hewan yang diduga asal virus corona.
Hingga saat ini penelitian masih belum menemukan hasil. Tim khusus bernama Lancet ini juga akan fokus pada penyebaran awal Sars-CoV-2.
WHO mengatakan timnya akan memulai penyelidikannya di Wuhan. Upaya untuk menemukan bagaimana virus corona bisa melewati batas hewan-manusia dinilai WHO bisa memakan waktu bertahun-tahun dan tidak akan pernah tercapai. (Kontan.co.id)
Bocor, China Berbohong Soal Data Kasus Covid-19 dan Salah Tangani Pandemi
Diberitakan Tribunnews dari Kontan pada Rabu (2/12/2020), sebuah dokumen penting ihwal informasi Covid-19 di China bocor. Data yang dilaporkan Pemerintah China menyebutkan jumlah kasus infeksi Covid-19 lebih sedikit dari jumlah kasus Covid-19 yang sebenarnya.
Pemerintah China juga dinilai meremehkan tingkat keparahan virus dan gagal dengan segera melakukan diagnosis kasus pada tahap awal pandemi Covid-19.
Independent melaporkan, dalam dokumen internal setebal 117 halaman yang berasal dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Hubei, yang diperoleh CNN menunjukkan bagaimana Partai Komunis Tiongkok menyembunyikan informasi penting saat dunia bergulat untuk menahan penyebaran virus yang cepat.
Baca juga: Kim Jong Un Dikabarkan Telah Terima Suntikan Vaksin Covid-19 dari China meski Belum Terbukti Efektif
Pada 10 Februari, China secara terbuka melaporkan 2.478 kasus baru yang dikonfirmasi sementara secara pribadi melaporkan 5.918 kasus baru.
Dari angka tersebut, terdapat perbedaan 139 persen.
Baca juga: Analisis AS Sebut China Berikan Kandidat Vaksin Covid-19 kepada Kim Jong Un dan Keluarga
Pada 17 Februari, China secara terbuka melaporkan kematian baru di provinsi Hubei, tempat pandemi diyakini berasal dari Wuhan, sebanyak 93 kasus.
Sementara secara pribadi melaporkan 196 kasus. Ada perbedaan lebih dari dua kali lipat.
Pada 7 Maret, China secara terbuka melaporkan total kematian di Hubei pada angka 2.986, sementara secara pribadi melaporkan 3.456.
Dokumen tersebut memberikan wawasan tentang respons sistem perawatan kesehatan terhadap pandemi antara Oktober 2019 dan April 2020.
Pada bulan Maret yang mendekati puncak pandemi, pihak berwenang China membutuhkan waktu rata-rata 23,3 hari - lebih dari tiga minggu - dari timbulnya gejala untuk secara positif mendiagnosis kasus Covid-19 yang dikonfirmasi.
Audit kit pengujian menemukan bahwa mereka tidak efektif dalam mendeteksi Covid-19.
Sementara kurangnya alat pelindung diri memaksa pejabat kesehatan untuk membuat virus tidak aktif sebelum pengujian.
"Pengujian retrospektif pada sampel awal menemukan bahwa sampel yang menunjukkan alat uji SARS negatif sebagian besar positif untuk virus corona baru," sebut dokumen tersebut seperti dikutip dalam laporan CNN.
Dokumen tersebut juga menunjukkan wabah influenza yang dirahasiakan mulai Desember 2019 di provinsi Hubei, lebih parah di Yichang dan Xianning daripada di Wuhan.
Kementerian Luar Negeri China, Komisi Kesehatan Nasional, dan Komisi Kesehatan Hubei tidak menanggapi temuan dokumen tersebut ketika dihubungi oleh CNN.
"Jelas mereka melakukan kesalahan - dan bukan hanya kesalahan yang terjadi ketika Anda berurusan dengan virus baru - juga kesalahan birokrasi dan bermotif politik dalam cara mereka menanganinya," jelas Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations.
"Ini memiliki konsekuensi global. Anda tidak pernah dapat menjamin transparansi 100%. Ini bukan hanya tentang penyembunyian yang disengaja, Anda juga dibatasi oleh teknologi dan masalah lain dengan virus baru," tambahnya.
Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Dokumen bocor: China bohong tentang data kasus Covid-19 dan salah penanganan pandemi