TRIBUNNEWS.COM, MAROKO - Kerajaan Maroko adalah negara Arab terbaru yang melakukan normalisasi hubungan secara resmi dengan negara Yahudi, Israel.
Hubungan "di bawah meja" kedua negara selama ini sudah terendus dan menjadi "rahasia umum".
Maroko punya kantor penghubung dengan Israel di ibu kota masing-masing sampai tahun 2002 ketika Rabat lalu menutupnya di tengah-tengah intifada Palestina kedua.
Akan tetapi, kontak kedua negara masih terus berlanjut dan sekarang, secara resmi, Raja Mohammed VI memutuskan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Hal itu dilakukan sebagai imbalan atas pengakuan Washington atas kedaulatan Maroko atas wilayah sengketa Sahara Barat. Sesuatu yang menurut PBB bukan bagian dari wilayah Maroko.
Melansir Australian Strategic Policy Institute (ASPI), sebuah wadah pemikiran yang berbasis di Canberra, Australia dan didanai sebagian oleh Departemen Pertahanan "Negeri Kanguru", berikut ini alasan di balik normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dengan Israel.
Dimulai dari UEA
Uni Emirat Arab (UEA) adalah negara Arab Teluk pertama yang memulai tahap normalisasi formal dengan Israel. Normalisasi dilakukan dalam berbagai bidang seperti keamanan dan teknologi.
Menyusul kemudian Bahrain, dinasti Sunni otoriter yang menguasai mayoritas Syiah. Satu di antara alasan Bahrain menyusul UEA adalah untuk membeli "jaminan" dari Israel dan AS terhadap Iran.
Dengan keterlibatan militer AS pada setiap lini konflik Timur Tengah, kerajaan Teluk semakin menganggap Israel sebagai pelindung mereka dari Iran.
Selain itu, Bahrain ketergantungan terhadap Arab Saudi (sejak penyelamatan monarki Bahrain dari penggulingan selama Arab Spring 2011).
Mengetahui normalisasi hubungan antara UEA dan Bahrain dengan Israel, Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS) berjumpa dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersamaan dengan Menlu AS Mike Pompeo.
Dari pertemuan itu juga keluar kesepakatan antara Saudi dengan Israel yang berkelanjutan soal Iran, di mana kedua negara itu sama-sama menganggap Iran sebagai ancaman utama mereka.
Langkah itu didasarkan pada keinginan Saudi untuk memberi sinyal kepada Iran bahwa Riyadh tidak akan sendirian jika berkonfrontasi dengan Iran di masa mendatang, meski AS tidak berpartisipasi langsung dalam perseteruan mereka.