TRIBUNNEWS.COM - Iran melaporkan kasus pertama varian baru virus corona yang sangat menular.
Seperti diketahui, varian baru virus corona ini awalnya ditemukan di Inggris beberapa bulan kemarin.
Kasus yang dilaporkan yakni seorang warga Iran yang kembali ke negara tersebut dari Inggris.
Informasi ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan Iran Saeed Namaki pada Selasa (5/1/2021).
Baca juga: Thailand Deteksi Varian Baru Covid-19 dan Tengah Berjuang Atasi Lonjakan 100 Kali Lipat Kasus Corona
Baca juga: Vaksin Mungkin Tidak Terlalu Efektif Lawan Varian Covid-19 dari Afrika Selatan
Mengutip Al Jazeera, pengumuman ini datang ketika Iran melaporkan negara tersebut menjadi yang paling terpukul oleh virus corona di Timur Tengah.
Namun, Iran telah mencatat jumlah kematian harian terendah dalam hampir tujuh bulan.
“Sayangnya, kami menemukan kasus pertama Covid-19 Inggris yang bermutasi dari seorang rekan senegaranya yang kembali dari Inggris dan yang dirawat di salah satu rumah sakit swasta kami,” kata Namaki kepada TV pemerintah.
"Kami tidak menemukan jejak virus ini pada keluarga pasien," paparnya.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Sima Sadat Lari mengatakan kepada TV pemerintah bahwa Iran telah mencatat 98 kematian akibat virus corona dalam 24 jam terakhir.
Angka tersebut merupakan yang terendah sejak 18 Juni 2020.
Baca juga: Yunani Deteksi Kasus Varian Baru Virus Corona, Empat Orang yang Terpapar Dari Inggris
Baca juga: Setelah Singapura dan Malaysia, Giliran Vietnam Laporkan Kasus Pertama Varian Baru Virus Corona
Negara itu secara resmi mencatat 55.748 kematian dan 1.255.620 infeksi sejak mengumumkan kasus pertamanya pada Februari tahun lalu.
Pada akhir Desember, Iran memperpanjang jam malam ke ratusan kota-kota berisiko rendah dalam upaya untuk mempertahankan penurunan jumlah infeksi dan kematian virus corona.
Ketika jam malam diberlakukan, pemerintah melarang penggunaan mobil pribadi untuk mengurangi tingkat kontak antar manusia.
Pada akhir Desember 2020, Iran mengatakan akan mulai menguji vaksin virus corona yang diproduksi di dalam negeri pada subjek manusia.
Pengujian tersebut dijadwalkan meski negara itu terus menghadapi kesulitan dalam mengimpor vaksin dalam jumlah yang cukup karena sanksi AS.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)