Kemudian serial John Dillermand rilis, hanya beberapa bulan setelah presenter TV bernama Sofie Linde memulai gerakan #MeToo di Denmark.
Baca juga: Intip di Balik Layar Pembuatan Serial The Mandalorian Dalam Making Of Season Two
Christian Groes, seorang profesor dan peneliti gender di Roskildes University, menganggap bahwa program yang menampilkan kekuatan alat kelamin laki-laki hanya dapat menghambat kesetaraan.
"Ini mengabadikan gagasan standar masyarakat patriarki dan menormalkan 'locker room culture'..yang telah digunakan untuk memaafkan banyak perilaku buruk dari laki-laki," ujarnya.
"Ini dimaksudkan sebagai lelucon, jadi itu dianggap tidak berbahaya. Tapi ternyata tidak. Dan kita mengajarkan ini kepada anak-anak kita," tambahnya.
Pihak Pro
Di sisi lain, Erla Heinesen Højsted, seorang psikolog klinis keluarga dan anak-anak, menganggap bahwa penentang acara itu terlalu berpikiran jauh.
"John Dillermand berbicara kepada anak-anak dan berbagi cara berpikir mereka - dan anak-anak menganggap alat kelamin itu lucu," katanya.
Højsted menerangkan, serial tersebut menggambarkan seorang pria yang impulsif dan tidak selalu memegang kendali.
Dillermand juga dianggap sebagai sosok yang kerap membuat kesalahan, seperti halnya anak-anak.
Baca juga: Nick McGlashan, Pemeran Serial Discovery Channel Deadliest Catch Meninggal pada Usia 33 Tahun
Namun yang terpenting, menurut Højsted, Dillermand selalu memperbaikinya.
Højsted menganggap, Dillermand bertanggung jawab atas tindakannya.
"Ketika seorang wanita di acara itu mengatakan kepadanya bahwa dia harus memasukkan alat kelaminnya di celananya, misalnya, dia mendengarkan. Itu bagus. Dia bertanggung jawab," jelas Højsted.
Meskipun begitu, Højsted mengakui, serial John Dillermand tayang pada waktu yang tidak tepat.
Selain itu, acara tentang tubuh mungkin dianggap menggambarkan "perbedaan dan keragaman".