News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pelantikan Presiden AS

Radikalisme di AS Setelah Serbuan ke Capitol Hill dan Pelantikan Biden-Harris

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang pendukung Presiden AS Donald Trump membawa bendera Konfederasi saat ia melakukan protes di Capitol Rotunda AS pada 6 Januari 2021, di Washington, DC. Demonstran melanggar keamanan dan memasuki Capitol saat Kongres memperdebatkan Sertifikasi Suara Pemilihan presiden 2020.

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Tak kurang 20.000 prajurit Garda Nasional saat ini mengamankan Washington, ibukota AS jelang pelantikan Joe Biden-Kamala Harris sebagai Presiden dan Wapres AS.

Jumlah itu tak termasuk belasan ribu polisi, kontraktor keamanan swasta, dan juga potensi Badan Darurat Federal (FEMA).

Kompleks Capitol Hill, Monumen Nasional, dan Gedung Putih di Washington DC disekat-sekat berdasarkan zona hijau dan zona merah.

Banyak jalan ditutup atau dialihkan. Izin masuk ke kawasan-kawasan yang akan dijadikan lokasi pelantikan dan prosesi kenegaraan sangat ketat.

Pengamanan super ketat ini menjawab kekhawatiran FBI dan dinas rahasia AS terkait potensi gangguan keamanan dalam skala serius jelang dan saat pelantikan Biden-Harris.

Para ahli, termasuk mantan komandan perang AS di Irak dan Afghanistan, Jenderal (Purn) Stanley Chrystal, mengkhawatirkan radikalisme dan ekstremisme dalam jangka panjang.  

"Plot masa depan benar-benar sedang dibuat sekarang," kata Oren Segal, Wakil Presiden Pusat Ekstremisme Liga Anti-Pencemaran Nama Baik, kepada CNN, Minggu (17/1/2021).

Baca juga: Jelang Pelantikan Joe Biden, Keamanan di Seluruh AS Diperketat, Garda Nasional hingga FBI Bekerja

Baca juga: Jelang Pelantikan Biden-Harris, Zona Hijau Ala Baghdad Diterapkan di Washington

Baca juga: Buntut Kerusuhan Capitol AS, Trump Kembali Dimakzulkan, Apa yang Terjadi Selanjutnya?

Para ahli berbagi keprihatinan yang berkembang terkait hak-hak yang dirugikan oleh mereka yang berkuasa, termasuk sistem politik ‘big tech’.

Pemberontakan di Capitol Hill saat pengesahan hasil electoral vote yang memenangkan Biden, jadi awal petaka demokrasi di AS.  

Raksasa media sosial memblokir secara permanen akun-akun Presiden Donald Trump, yang dianggap postingannya menghasut dan memicu kekerasan.

Risiko Radikalisasi Akibat Kebijakan Big Tech

Kebijakan ini oleh sebagian kalangan memunculkan simpati tinggi, dan semakin banyak pengguna berisiko mengalami radikalisasi.

Beberapa yang pernah berkomunikasi melalui Facebook, Twitter atau bahkan Parler sekarang ada di platform lain.

Itu termasuk Telegram, di mana ekstremis dan saluran supremasi kulit putih telah ada dan memuntahkan kebencian selama bertahun-tahun di saluran yang sebagian besar tidak dimoderasi.

Di banyak saluran ini, sering ada pujian terhadap pembunuh massal, instruksi taktis dan konten radikalisasi keji dan mengganggu yang menyebar dengan cepat.

"Moderator kami sedang meninjau peningkatan jumlah laporan terkait postingan publik dengan seruan untuk melakukan kekerasan, yang secara tegas dilarang oleh Persyaratan Layanan kami," kata juru bicara Telegram Remi Vaughn kepada CNN.

"Kami menyambut diskusi damai dan protes damai, tetapi secara rutin menghapus konten yang tersedia untuk umum yang berisi seruan langsung untuk melakukan kekerasan," imbuhnya.

Pendukung Trump bentrok dengan polisi dan pasukan keamanan saat mereka membobol barikade keamanan Gedung Capitol AS pada 6 Januari 2021.

Segal menyebut serangan Capitol sebagai momen penting dan mengatakan itu akan berdampak besar, bahkan lebih dari katalisator terbesar dalam sejarah negara itu untuk aktivitas anti-pemerintah.

"Ini bukan Waco, ini bukan Ruby Ridge, ini lebih besar dari itu," Segal menjelaskan dengan membandingkan 6 Januari 2021 dengan peristiwa sebelumnya.

Dalam obrolan publik dan pribadi ada pesan umum tentang rencana untuk "mengambil kembali Amerika" atau bersatu melawan upaya sensor.

"Kami melihat migrasi massal dari platform tradisional seperti Twitter dan Facebook ke lonjakan aktivitas di Parler, dan kemudian lonjakan aktivitas sekunder ke platform seperti Telegram saat kelompok perantara ini mulai membangun redundansi dalam komunikasi mereka," kata Angelo Carusone, Presiden dan CEO Media Matters for America.

Carusone dan timnya telah melacak bahasa ekstremis dan memposting di berbagai lanskap media. "itu berarti darah segar," imbuh Carusone. Ekstremis dan ahli teori konspirasi mencari platform baru secara online

Ruang-ruang online bukan arus utama sekarang melihat tokoh-tokoh sayap kanan, supremasi kulit putih yang dipenuhi kebencian, dan rasis yang berteriak-teriak memicu perang saudara.

Mereka bercampur kelompok konspirasis QAnon dan pendukung Presiden Trump yang paling bersemangat dan setia mendengar Trump selama bertahun-tahun.

Kelompok ini percaya hasil pemilihan presiden dicuri dari mereka. Banyak yang mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan bagaimana menyusun pesan mereka.

Biro Penyelidik Federal (FBI) mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada CNN, meskipun beberapa konten mungkin mengganggu, pihak berwenang tidak dapat mengambil tindakan.

"FBI tidak dapat membuka investigasi tanpa ancaman kekerasan atau dugaan aktivitas kriminal. Namun, ketika bahasa itu berubah menjadi seruan untuk kekerasan atau aktivitas kriminal, FBI mampu melakukan aktivitas investigasi," kata badan itu.

Penyelidik dapat menghadapi tugas yang lebih berat untuk menemukan beberapa orang yang telah dihapus dari platform yang lebih besar.

"Lebih dan lebih penting untuk mengetahui ke mana mereka pergi, terutama jika mereka bergerak lebih jauh dan lebih jauh di balik tabir," kata Carusone.

"Jika Anda kehilangan jejak sepenuhnya, Anda kehilangan saluran informasi itu, Anda kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi indikator-indikator itu, yang berarti lebih sulit untuk mencegah bahaya," lanjutnya.

Evolusi Ala Ql Qaeda Terjadi di Amerika Serikat

Jenderal Stanley McChrystal bersama Presiden Barack Obama (ist)

Lebih jauh, pensiunan jenderal yang dihormati, Stanley McChrystal melihat ada semacam evolusi ekstremisme AS mirip seperti yang dilakukan Al Qaeda di Afghanistan dan Irak.

Fakta-fakta itu muncul ketika kelompok ekstremis sayap kanan AS menyerbu Capitol AS, dan mengancam nyawa anggota Kongres pada 6 Januari 2021.

Banyak yang mengenakan kemeja QAnon, kelompok pemuja konspirasi yang merasa diri mereka prajurit perang melawan pedofil pemuja setan dalam birokrasi negara.

Ada juga kelompok neo-Nazi dan anti-Semit, termasuk seorang pria yang mengenakan kaus “Kamp Auschwitz”.

Para rasis bersatu mengibarkan bendera Konfederasi di aula Kongres. McChrystal, yang diberhentikan Presiden Obama, cemas akan lahirnya pemberontakan Amerika yang kejam.

 “Saya memang melihat dinamika serupa dalam evolusi al-Qaeda di Irak,” kata McChrystal kepada Yahoonews.

“Saat itu generasi muda Arab yang marah atas masa depan mereka, mengikuti seorang pemimpin yang kuat yang berjanji akan membawa mereka kembali ke tempat yang lebih baik, dan dia memimpin mereka untuk merangkul ideologi yang membenarkan kekerasan mereka. Ini sekarang terjadi di Amerika,” jelas McChrystal.

Sekelompok warga radikal telah mengadopsi pandangan garis keras negara, katanya, yang menggemakan narasi “Lost Cause” yang berakar di bagian selatan AS, lama setelah perang saudara.

"Hanya Presiden Trump yang memperbarui slogan “Lost Cause” dengan narasi “Stop The Steal”. “Itu memberi mereka legitimasi untuk menjadi lebih radikal,” ujar eks Komandan Pasukan Gabungan AS d Irak dan Afghanistan ini.

“Saya pikir kita sudah jauh dalam proses radikalisasi ini, dan menghadapi masalah yang jauh lebih dalam sebagai sebuah negara, daripada yang disadari kebanyakan orang Amerika,” lanjut mantan komandan pasukan khusus AS ini.(Tribunnews.com/CNN/Yahoonews/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini