TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris diperkirakan akan mengubah kembali pendekatan AS terkait diplomasi dan urusan global.
Mereka akan membalikkan secara dramatis orientasi era Trump-Pence, yang lebih fokus pada kepentingan domestik, terutama pemulihan ekonomi AS.
Biden telah lama dikenal pendukung multilateralisme. Ia berjanji memulihkan aliansi politik, keamanan, dan perdagangan, yang rusak di era Trump.
Biden juga berjanji akan memperkuat kembali keterlibatan AS terkait perjanjian dan organisasi internasional.
Presiden Trump selama empat tahun berkuasa telah menarik diri dari Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim, menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, keluar dari WHO dan Unesco.
Trump juga menarik diri dari traktat langit terbuka serta kemitraan TransPasifik. Joe Biden dan Kamala Harris akan dilantik sebagai Presiden dan Wapres AS, Rabu (20/1/2021).
Baca juga: Mike Pence Puji Donald Trump Selama Berkuasa Tak Seret AS ke Medan Perang Baru
Baca juga: Mike Pence Sapa Kamala Harris dan Staf Gedung Putih, Siap Hadiri Pelantikan Presiden Biden
Baca juga: Dalam Pidato Perdana, Biden akan Serukan Persatuan dan Batalkan Sejumlah Keputusan Trump
Ulasan panjang tentang kebijakan politik global Biden ditulis Joseph Stepansky, jurnalis freelance di Aljazeera.com, Selasa (19/1/2021).
“Pendekatan Trump terhadap kebijakan luar negeri mirip pendekatan Presiden Richard Nixon”, kata Hillary Mann Leverett, pejabat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih era Republik dan Demokrat.
Etos mendasar yang dimiliki kedua pemimpin ini adalah negara tidak berteman satu sama lain. “Negara memiliki kepentingan; mereka tidak punya teman," imbuhnya.
Selama empat tahun menjabat, Trump menggambarkan dirinya sebagai pembuat kesepakatan, pengembang real estat internasional yang tak takut mengguncang status quo dan memajukan kepentingan AS.
“Pada akhirnya, apakah dia tidak memiliki kedalaman intelektual, dia tidak memiliki orang-orang di sekitarnya yang dia butuhkan, atau dia tidak bisa mengawasi tujuan, dia hanya tidak bisa melakukannya. mengirimkan salah satu dari hal-hal itu, ”kata Leverett.
Merajut Kembali Hubungan yang Rusak dengan Uni Eropa
Joe Biden dan Kamala Harris diperkirakan akan berusaha untuk memperkuat kembali hubungan dengan banyak pemimpin di Eropa Barat, terutama Kanselir Jerman Angela Merkel.
Keduanya memiliki hubungan dekat selama Biden menduduki wakil presiden era Obama. Jerman memiliki hubungan tegang sepanjang tahun-tahun pemerintahan Trump.
Hubungan Biden dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang merayu Trump saat Inggris menarik diri dari Uni Eropa, masih belum jelas.
Meski demikian, Biden, yang menjabat sebagai senator Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat 1997-2009, menggambarkan dirinya pemimpin yang membangun hubungan pribadi dengan rekan-rekannya.
Berdasarkan pengalaman politik hampir lima dekade, Biden juga mengatakan dia tidak takut untuk berbicara langsung saat dibutuhkan.
Presiden Barack Obama memuji kemampuan Joe Biden mengejar tujuan yang berbeda tanpa terjebak dalam perdebatan ideologis yang lebih luas.
Sementara itu, Biden dengan cepat bergerak untuk mengisi pemerintahannya dengan diplomat terkemuka di pos-pos kunci.
Ia menominasikan negosiator kesepakatan nuklir Iran untuk posisi nomor dua atau Deputi Menlu di Departemen Luar Negeri AS.
Biden-Harris Akan Lebih Tegas Urusan Pelanggaran HAM
Dia juga berjanji mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap para pelanggar hak asasi manusia, menandakan kemunduran hubungan dekat AS-Saudi di era Trump.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman sangat baik berhubungan dengan Trump. Begitu juga Presiden sayap kanan Brasil Jair Bolsonaro, dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Sementara Trump jelas merasakan kedekatannya dengan otokrat, Biden mendefinisikan dirinya dalam hal membangun hubungan dengan demokrat, mereka yang memiliki kepentingan dan nilai yang sama.
Penilaian disampaikan PJ Crowley, mantan asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan publik di bawah Presiden Obama.
Namun, itu tidak berarti Biden tidak akan bekerja dengan para pemimpin dengan kecenderungan otokratis jika itu cocok dengan tujuan yang lebih luas.
Leverett menunjuk pernyataan kontroversial Biden pada 2011 terkait Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang menjunjung perdamaian dengan Israel, sebagai "bukan diktator".
Crowley mengatakan Trump juga mengambil pendekatan "transaksional" dengan banyak pemimpin, termasuk pemimpin Israel Benjamin Netanyahu.
Hal ini terlihat saat Trump memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah.
Pendekatan tersebut berkontribusi pada apa yang oleh banyak pendukung Trump dianggap sebagai pencapaian kebijakan luar negeri terbesarnya: normalisasi Israel dan Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
"Joe Biden adalah seorang politisi taktis dan saya pikir dia akan mampu mempengaruhi orang banyak dengan cara yang tidak dilakukan Barrack Obama," kata Crowley.
Di era Biden, para pemimpin juga dapat mengharapkan kembalinya kebijakan luar negeri AS yang lebih dapat diprediksi, setelah Trump cenderung mengejutkan, membuat keputusan sepihak.
Trump menggunakan media sosial sebagai mimbar orasi yang sarat informasi, yang dapat membuat negosiator dan pejabatnya sendiri terguncang.
Dalam satu contoh penting strategi on-the-fly tersebut, Trump tiba-tiba menarik pasukan AS dari perbatasan Turki di Suriah pada Oktober 2019.
Trump memberi Turki lampu hijau de facto untuk maju secara militer dan membuat sekutu utama AS, yaitu kelompok Kurdi, rentan bahaya.
Dalam tweet beberapa hari kemudian, Trump memperingatkan Presiden Turki Recep Erdogan, dia akan benar-benar menghancurkan dan melenyapkan ekonomi Turki, jika mereka melakukan apa pun yang dia larang.
“Trump bangga karena tidak dapat diprediksi dan memainkan drama, berkat pengalamannya sebagai tokoh televisi,” kata Crowley.
“Dalam diplomasi, bisa ada ketegangan, tapi prediktabilitas dihargai. Jika Anda mengatakan akan melakukan sesuatu, jika Anda menindaklanjutinya, Anda membangun rekam jejak yang dapat dipercaya,” katanya.
Tidak Banyak yang Akan Mempengaruhi Biden
Tetapi prediktabilitas seperti itu menurut Leverett, juga memiliki kelemahan. Karir panjang Biden berarti membuat ia dalam banyak hal, telah membuat keputusan negara, mengetahui orang-orang di negara-negara tersebut dan masalahnya.
“Tidak banyak yang akan mempengaruhi dia,” katanya. Itu bisa membuat Biden jatuh ke dalam pola basi dengan para pemimpin seperti Presiden Rusia Vladimir Putin.
Biden mengatakan dia pernah blak-blakan mengatakan kepada pemimpin Rusia, "Saya tidak berpikir Anda memiliki jiwa".
Hubungan Biden dengan Presiden China Xi Jinping juga akan diawasi ketat menyusul meningkatnya ketegangan antara kedua negara selama empat tahun terakhir.
Biden menghabiskan banyak waktu dengan Xi dalam perannya sebagai Wakil Presiden AS, tetapi dia baru-baru ini menyebut pemimpin China itu preman.
Pendekatannya ke Iran, yang dia dan pihak-pihak Eropa harapkan untuk dibawa kembali ke kesepakatan nuklir multilateral, juga akan diawasi secara cermat.
Pengamat lain berpendapat pendekatan diplomatik Biden secara keseluruhan tidak sejalan dengan era persaingan kekuatan besar saat ini.
Kekuatan-kekuatan yang muncul bersaing untuk membangun jaringan pengaruh mereka sendiri.
“Kita hidup di dunia realis, di mana kekuasaan sangat, sangat penting,” kata James Carafano, pakar politik dan keamanan internasional di Heritage Foundation.
“Negara-negara yang ingin menjadi aman, bebas, dan sejahtera di dunia itu, mereka akan mendasarkan penilaian politik dan penilaian geopolitik mereka pada hubungan kekuasaan, ” imbuhnya.
“Saya memang berpikir kebijakan luar negeri (Trump) sebagian besar didasarkan realism, dan saya pikir orang-orang bingung atas kepentingan pribadi yang menguasai atau isolasionisme,” katanya.
Namun, para pendukung berpendapat Biden memiliki pengalaman, dan staf di sekitarnya, untuk memajukan kepentingan AS yang lebih pragmatis dan efektif.
“Saya pikir apa yang akan Anda lihat di Biden adalah tulang punggung dalam masalah dan gagasan,” ujar Joel Rubin, Wakil Menlu AS urusan legislatif di bawah Obama.(Tribunnews.com/Aljazeera/xna)