Dua tahun lalu, para mahasiswa di kota-kota besar di Cina turun ke jalan sambil memegang kertas berukuran A4 kosong sebagai simbol perlawanan diam terhadap pembatasan pandemi yang keras dari pemerintahnya.
Serangkaian protes ini dikenal sebagai Gerakan "White Paper” atau Revolusi A4, yakni tindakan protes pembangkangan nasional terhadap pemerintah Cina, yang terbesar sejak Tragedi Tiananmen pada 1989.
"Pemerintah kini lebih takut pada Gerakan White Paper daripada insiden Tiananmen, karena gerakan ini langsung menargetkan rezim otoriter Xi Jinping," kata Yicheng Huang, seorang mantan demonstran aksi protes White Paper yang kini tinggal di Jerman.
Awalnya, para pengunjuk rasa menyerukan adanya pelonggaran "lockdown” atau karantina COVID-19, tetapi gerakan ini meningkat menjadi tuntutan, agar Pemimpin Cina Xi Jinping dan Partai Komunis segera mengundurkan diri.
Meskipun gerakan ini kemudian ditekan oleh pemerintah dan gagal membawa perubahan sistematis di masyarakat Cina, Huang mengatakan kepada DW bahwa ketidakpuasan publik terus menumpuk dalam dua tahun terakhir.
Para demonstran ‘trauma', tetapi juga ‘diberdayakan'
Selama pandemi, Presiden Cina Xi Jinping dengan tegas mendukung kebijakan nol toleransi terhadap pelanggaran karantina dalam upaya mengendalikan penyebaran COVID-19.
Cina tetap memberlakukan pembatasan, bahkan setelah sebagian besar populasinya menerima vaksin COVID-19. Sementara, banyak negara lain mulai melonggarkan aturan dan hidup berdampingan dengan risiko kesehatan akibat terpapar COVID-19 yang saat itu mulai menurun.
Karantina super ketat dan tes swab massal, terus diberlakukan hingga akhir tahun 2022, meskipun ketidakpuasan publik semakin meningkat.
Pada November 2022, insiden kebakaran mematikan terjadi di sebuah apartemen di Urumqi, ibu kota provinsi Xinjiang, yang merupakan tempat tinggal bagi kaum minoritas Muslim Uighur. Setidaknya 10 orang dilaporkan tewas.
Banyak yang percaya bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, dan banyak warga yang menyalahkan kebijakan karantina super ketat itu yang memperparah kebakaran. Acara peringatan menyalakan lilin untuk para korban akhirnya berkembang menjadi protes besar-besaran.
Trauma yang ‘bermakna' bersama masyarakat yang terisolasi
Setelah kerusuhan tersebut, otoritas Cina mencabut kebijakan nol-COVID, seraya mengeklaim "kemenangan besar yang sangat menentukan" dalam pencegahan dan pengendalian selama pandemi.
Pada saat yang sama, sekitar 100 pengunjuk rasa ditangkap dan didakwa atas tuduhan "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah." Beberapa di antaranya bahkan masih ditahan hingga kini, sementara yang lain telah dibebaskan dengan jaminan atau diasingkan ke luar negeri.
"Bagi mereka yang berpartisipasi dalam Gerakan White Paper, traumanya sangat signifikan," kata Huang, seraya mencatat bahwa pembangkangan sipil di Cina "memiliki konsekuensi yang sangat berat."
Huang mengatakan dia dipukuli secara brutal oleh polisi, dibanting ke tanah, dan diseret ke dalam bus dengan wajah berlumuran darah.