TRIBUNNEWS.COM - Militer Myanmar mengonfirmasi telah mengambil kendali negara setelah pemimpin negara Aung San Suu Kyi ditangkap.
Pemimpin sekaligus politisi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi ditangkap militer dalam serangan dini hari Senin (1/2/2021) bersama pemimpin politik lainnya.
Menurut laporan BBC, kudeta terjadi setelah ketegangan antara pemerintah sipil dan militer karena sengketa pemilu November 2020.
Beberapa jam setelah penangkapan, saluran TV militer mengonfirmasi bahwa mereka menyatakan keadaan darurat selama satu tahun.
Myanmar yang dikenal sebagai Burma, diperintah militer hingga reformasi demokrasi pada 2011 silam.
Pada pemilu November 2020 lalu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di bawah kepemimpinan Suu Kyi menang telak.
Namun hasil itu ditentang militer dan menyerukan bahwa pemilu dicurangi.
Baca juga: Tokoh Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi Ditangkap dan Ditahan Militer, Buntut Konflik Pemilu
Baca juga: Biodata Aung San Suu Kyi Berubah di Wikipedia setelah Ditahan Militer, Tertulis Tanggal Penangkapan
Siapa Sosok Aung San Suu Kyi?
Aung San Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung San.
Jenderal Aung San dibunuh ketika Suu Kyi baru berusia dua tahun, tepat sebelum Myanmar mendeka dari penjajahan Inggris 1948.
Suu Kyi vokal terhadap kasus HAM, dia merupakan aktivis yang berprinsip menyerahkan kebebasannya untuk menantang jenderal militer yang kejam yang memerintah Myanmar selama beberapa dekade.
Pada 1991, dia dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian saat masih dalam tahanan rumah.
Suu Kyi menghabiskan hampir 15 tahun di tahanan antara tahun 1989 dan 2010.
Pada November 2015, dia memimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) meraih kemenangan telak dalam pemilihan umum pertama Myanmar yang diperebutkan secara terbuka selama 25 tahun.
Konstitusi Myanmar melarang dia menjadi presiden karena dia memiliki anak yang merupakan warga negara asing.
Tapi Suu Kyi, dipandang sebagai pemimpin de facto.
Namun sejak menjadi penasihat negara Myanmar, kepemimpinannya ditentukan oleh perlakuan terhadap sebagian besar minoritas Muslim Rohingya di negara itu.
Pada 2017, ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh karena tindakan keras militer.
Mantan sekutu internasional Suu Kyi menilainya melakukan pembiaran kekejaman tersebut.
Apa yang terjadi?
Bentrok antara pemerintah sipil dan militer Myanmar bermula adanya dugaan kecurangan pemilu November 2020.
Pada pemilihan November tahun lalu, Partai NLD memenangkan kursi untuk membentuk pemerintahan.
NLD memenangkan 83 persen kursi dalam pemilihan 8 November lalu.
Pemilu pada 2020 merupakan pemilihan umum kedua Myanmar sejak berakhirnya kekuasaan militer pada 2011.
Namun pihak militer mengatakan bahwa pemilihan suara itu telah dicurangi hingga mengajukan pengaduan pada presiden dan ketua komisi pemilihan ke Mahkamah Agung.
Komisi Pemilihan Myanmar menolak tuduhan itu dan mengatakan tidak ada yang bisa mempengaruhi kredibilitas pemungutan suara.
Di bawah konstitusi, militer berhak atas 25 persen kursi parlemen agar bisa mengontrol tiga kementerian utama dalam pemerintahan Suu Kyi.
Baca juga: Pemimpin, Presiden, Anggota Senior Partai Penguasa Myanmar Dikabarkan Ditangkap Saat Serangan Pagi
Pemenang Nobel Perdamaian Suu Kyi (75) mulai berkuasa pada 2015 karena menang telak dalam pemilu.
Suu Kyi sempat menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun untuk memperjuangkan demokrasi di Myanmar.
Majelis parlemen yang baru terpilih akan melakukan sidang pertama kali pada Senin (1/2/2021) ini.
Namun militer meminta agar ditunda.
Menurut laporan BBC di Myanmar, kondisi negara ini seperti kudeta skala besar.
Saat ini, tentara tersebar di jalanan ibu kota Naypyitaw dan Kota Yangon.
Koneksi internet dan telepon di sejumlah kota besar Myanmar dilaporkan terganggu.
Lembaga penyiaran negara, MRTV mengatakan sedang mengalami masalah teknis hingga memutuskan tidak mengudara.
Seorang saksi mata mengatakan tentara dikerahkan di luar balai kota di kota utama Yangon.
Militer Myanmar pada Sabtu lalu mengatakan akan mematuhi konstitusi dan bertindak sesuai dengan hukum setelah sebelumnya menimbulkan kekhawatiran akan kudeta.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)