Puluhan pekerja medis di Rumah Sakit Umum Yangon mengenakan pita merah untuk menunjukkan protes atas kudeta militer.
Adapun G7, kelompok berisi negara-negara dengan ekonomi maju, yaitu Kanada, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Italia, Jerman, dan Uni Eropa, menyatakan sangat mencemaskan demokrasi di Myanmar.
"Kami menyerukan kepada militer untuk segera mengakhiri keadaan darurat, memulihkan kekuasaan kepada pemerintah yang dipilih secara demokratis, membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, dan untuk menghormati hak asasi manusia serta supremasi hukum," begitu pernyataan resmi G7.
Mengapa China menghalangi langkah PBB?
"Melalui kebijakan luar negeri yang bisa dianggap manipulatif, China tampaknya memberi sinyal bahwa mereka diam-diam mendukung, kalau tidak mau dibilang mendukung secara tegas, tindakan para jenderal itu," kata pakar Myanmar di Universitas Nasional Singapura, Elliott Prasse-Freeman.
"Mereka seperti ingin menyatakan bahwa ini adalah masalah internal Myanmar dan yang mereka saksikan adalah perombakan kabinet, sebagaimana yang dikabarkan media massa milik pemerintah China."
Walau menurutnya pernyataan PBB tidak akan berdampak langsung, Elliott menyebut langkah itu bisa menjadi langkah pertama untuk menyatukan respons internasional terhadap kudeta di Myanmar.
"Itu tampaknya tidak akan terjadi," ujarnya.
"Sikap China terhadap kudeta ini konsisten dengan seluruh skeptisisme mereka terhadap intervensi internasional," kata Sebastian Strangio, penulis dan editor isu Asia Tenggara di The Diplomat.
Selama beberapa hari terakhir, China menyebut sanksi atau tekanan internasional hanya akan memperburuk keadaan di Myanmar.
Walau secara strategis mendapatkan keuntungan dari pengucilan Myanmar oleh Barat, menurut Strangio, tidak berarti China menyetujui kudeta itu.
"China memiliki hubungan yang cukup baik dengan Partai NLD dan berinvestasi banyak untuk membangun hubungan dengan Aung San Suu Kyi.
"Dengan kembalinya militer ke tampuk kekuasaan, sebenarnya China kini harus berurusan dengan institusi di Myanmar yang secara historis paling mencurigai mereka," kata Strangio.
Sumber: Kontan.co.id/BBC Indonesia