Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meminta pejabat militer Myanmar pada Kamis kemarin, untuk mengembalikan kekuasaan kepada pejabat yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum (pemilu) 2020.
Hal ini ia sampaikan setelah angkatan bersenjata Myanmar merebut kendali dan menuduh pejabat negara itu melakukan kecurangan pemilu.
"Tidak ada keraguan, dalam demokrasi, kekuatan seharusnya tidak pernah berusaha untuk mengesampingkan keinginan rakyat atau berusaha untuk menghapus hasil pemilihan yang kredibel," kata Biden dalam pidato kebijakan luar negeri besar perdananya.
Ia pun meminta secara tegas agar militer Myanmar melepaskan kekuasaan dan membebaskan para pejabat pemerintahan.
"Militer Burma (Myanmar) harus melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut, membebaskan para pendukung, aktivis dan pejabat yang mereka tangkap, mencabut pembatasan telekomunikasi, dan menahan diri dari kekerasan," tegas Biden.
Baca juga: Kuasai Pemerintahan, Militer Myanmar Blokir Sementara Jaringan Media Sosial
Baca juga: Kecam Kudeta Militer di Myanmar, Inggris Nilai Kemenangan Partai Aung San Suu Kyi Sah
Jika pejabat militer Myanmar menolak melakukan hal itu, Biden memperingatkan bahwa AS akan memberikan konsekuensi pada mereka yang bertanggung jawab dalam aksi menentang hasil pemilihan demokratis di negara tersebut.
Selain itu, Biden mengindikasikan bahwa ia telah melakukan kontak 'dekat' dengan sekutu AS, termasuk Pemimpin Minoritas Senat Mitch McConnell untuk membahas kudeta yang terjadi pada Senin lalu.
Dikutip dari laman Sputnik News, Jumat (5/2/2021), pernyataan Biden yang baru saja dilantik itu muncul dua hari setelah Departemen Luar Negeri (Deplu) AS secara resmi mengakui bahwa penahanan terhadap pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint yang dilakukan militer negara itu merupakan sebuah kudeta.
Aksi tersebut mendorong AS untuk membatasi bantuannya kepada pemerintah Myanmar.
Kendati demikian, bantuan kemanusiaan dan program untuk mendukung masyarakat sipil akan terus dilanjutkan.
Kudeta yang terjadi pada Senin dini hari berlangsung sehari sebelum parlemen negara itu dijadwalkan mengambil sumpah anggota yang dipilih dalam pemilu 2020.
Dalam pemilu tersebut, kandidat dari partai penguasa Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi mengalahkan partai yang didukung militer.
Menyuarakan sentimen yang sempat terjadi pada pemilihan di AS, militer Myanmar langsung mengklaim bahwa ada kecurangan yang meluas pada daftar pemilih Myanmar.
Namun, tuduhan itu kemudian ditolak setelah pejabat pemilu memutuskan tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
Baca juga: Polisi Myanmar Ajukan Tuntutan Terhadap Aung San Suu Kyi karena Langgar UU Ekspor-Impor
Baca juga: Buntut Kudeta Myanmar: Warga Sipil Demo Pakai Panci, Akses Facebook Diblokir Militer
Militer Myanmar pun mengindikasikan bahwa tindakan mereka dibenarkan secara hukum.
Karena menurut mereka, konstitusi negara itu menyerukan pengambilalihan militer selama masa darurat.
Pejabat militer menyebut kegagalan pemerintah dalam menyelidiki tuduhan penipuan pemilu ini sebagai alasan dibalik pengambilalihan tersebut.
Baik Suu Kyi maupun Presiden Myanmar diperkirakan akan tetap ditahan hingga setidaknya 15 Februari 2021.
Keduanya ditahan bersama dengan sejumlah pejabat tinggi pemerintah dari partai penguasa.
Baru-baru ini, pihak berwenang mendakwa Suu Kyi dengan tuduhan memiliki walkie-talkie yang diimpor secara ilegal.
Ini dilakukan untuk memberikan dasar hukum terhadap penahanannya.
Perlu diketahui, Myanmar sebelumnya telah berada di bawah kekuasaan militer selama beberapa dekade.
Namun 10 tahun terakhir, negara itu mulai membuat kemajuan menuju demokrasi.
Saat ini, setelah berlangsungnya kudeta militer, kekuasaan Myanmar kembali ke 'tangan militer' dan telah diserahkan kepada Min Aung Hlaing yang menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata sejak 2011 lalu.
Sebelumnya, Myanmar telah menjadi berita utama global setelah militer negara itu merebut kekuasaan dalam aksi kudeta dan memberlakukan keadaan darurat satu tahun setelah menangkap pejabat tinggi negara itu dengan tudingan penipuan pemilu.