TRIBUNNEWS.COM - Penyebaran varian baru virus corona menimbulkan kekhawatiran tentang terpapar Covid-19 untuk kedua kalinya.
Penelitian baru menunjukkan, ada bukti kuat bahwa orang yang pernah terinfeksi Covid-19 tidak terlindungi dari infeksi kedua.
Mengutip Ap News, orang yang pernah positif Covid-19 juga bisa terinfeksi virus corona versi sebelumnya, jika imun mereka lemah.
Pertanyaan besar dalam pandemi saat ini yakni berapa lama imun bertahan dari infeksi alami?
Para ilmuwan masih menganggap infeksi ulang cukup langka dan biasanya kurang serius daripada yang pertama.
Tetapi, perkembangan terkini di seluruh dunia menimbulkan kehawatiran.
Baca juga: Wagub DKI Ikut Merespon Selebgram Helena Lim yang Suntik vaksin Covid-19 di Puskesmas Kebon Jeruk
Baca juga: Afrika Selatan Hentikan Suntikan Vaksin AstraZeneca karena Temuan Varian Baru Virus Corona
Di Afrika Selatan, studi vaksin menemukan infeksi dengan varian baru terjadi pada 2 persen orang yang sebelumnya memiliki versi virus sebelumnya.
Beberapa kasus serupa dengan varian baru ditemukan di Brasil.
Para peneliti tengah mengeksplorasi apakah infeksi ulang membantu menjelaskan lonjakan baru-baru ini di kota Manaus, Brasilm di mana tiga perempat penduduk diperkirakan telah terinfeksi sebelumnya.
Di Amerika Serikat, sebuah penelitian menemukan bahwa 10 persen anggota Marinir yang pernah terinfeksi sebelumnya dan berulang kali dites negatif sebelum memulai pelatihan dasar, kemudian terinfeksi lagi.
"Risiko besar infeksi ulang tetap ada," kata pemimpin studi, Dr. Stuart Sealfon dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai di New York.
Baca juga: Inggris Diterjang Badai Darcy, Pusat Vaksin Virus Corona Tutup dan Vaksinasi Dibatalkan
Terapkan Protokol Kesehatan
Infeksi ulang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat, bukan hanya masalah pribadi.
Bahkan dalam kasus, infeksi ulang tidak menimbulkan gejala atau hanya gejala ringan, orang mungkin masih menyebarkan virus.
Itu sebabnya para pejabat kesehatan mendesak vaksinasi sebagai solusi jangka panjang dan mendorong masyarakat untuk memakai masker, menjaga jarak secara fisik dan sering mencuci tangan.
"Ini adalah insentif untuk melakukan apa yang telah kami katakan selama ini, untuk memvaksinasi sebanyak mungkin orang dan melakukannya secepat kami bisa," kata Dr. Anthony Fauci, ahli penyakit menular pemerintah AS.
"Saya melihat data menunjukkan dan saya ingin menggarisbawahi, perlindungan yang disebabkan oleh vaksin bahkan mungkin sedikit lebih baik daripada infeksi alami," kata Fauci.
Para dokter di Afrika Selatan mulai khawatir ketika mereka melihat lonjakan kasus akhir tahun lalu di daerah di mana tes darah menunjukkan banyak orang sudah tertular virus.
"Indikasinya adalah infeksi sebelumnya memberikan perlindungan setidaknya selama sembilan bulan, sehingga gelombang kedua seharusnya relatif tenang," kata Dr. Shabir Madhi dari Universitas Witwatersrand di Johannesburg.
Baca juga: Menkes Jepang Ingin Lakukan Analisis Genom dan Kerja Sama dengan Swasta terkait Varian Baru Covid-19
Para ilmuwan menemukan versi baru virus yang lebih menular dan tidak terlalu rentan terhadap pengobatan tertentu.
Sekarang menyebabkan lebih dari 90 persen kasus baru di Afrika Selatan dan telah menyebar ke 40 negara termasuk Amerika Serikat.
Infeksi Ulang
Di Brasil, lonjakan rawat inap di Manaus pada Januari menyebabkan kekhawatiran serupa dan mengungkapkan varian baru yang juga lebih menular serta kurang rentan terhadap beberapa perawatan.
"Infeksi ulang bisa menjadi salah satu pemicu kasus ini," kata Dr. Ester Sabino dari Universitas Sao Paulo.
Dia menulis artikel di jurnal Lancet tentang kemungkinan penjelasannya.
"Kami belum bisa memastikan seberapa sering hal ini terjadi," ujarnya.
Baca juga: POPULER Internasional: Vaksin Novavax Kurang Ampuh terhadap Varian Covid Baru | Gadis Pecandu Oplas
Ilmuwan California juga sedang menyelidiki apakah varian yang baru saja diidentifikasi dapat menyebabkan infeksi ulang atau lonjakan kasus di sana.
"Kami sedang memeriksanya sekarang," mencari sampel darah dari kasus-kasus sebelumnya, kata Jasmine Plummer, seorang peneliti di Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles.
Dr. Howard Bauchner, pemimpin redaksi Journal of American Medical Association, mengatakan akan segera melaporkan apa yang disebutnya "varian Los Angeles".
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)