TRIBUNNEWS.COM - Aksi protes menentang kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi terjadi di seluruh Negeri Seribu Pagoda, Channel News Asia melaporkan.
Menanggapi hal itu, pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing meminta masyarakat untuk memprioritaskan fakta dan bukan perasaan, Senin (8/2/2021).
Min Aung Hlaing melanjutkan, pemilihan akan diadakan dan kekuasaan diserahkan kepada partai pemenang.
Dalam pidato pertamanya sejak kudeta seminggu lalu itu, dia juga menegaskan bahwa junta berbeda dengan pemerintahan militer sebelumnya.
Lebih lanjut, Min Aung Hlaing mengatakan militer akan membentuk demokrasi yang benar dan disiplin serta mereformasi panitia pemilihan.
Pada Pemilu tahun lalu, dia menilai panitia pemilihan menggunakan pandemi virus corona sebagai alasan untuk mencegah kampanye yang adil.
"Kami akan mengadakan Pemilu multipartai dan kami akan menyerahkan kekuasaan kepada yang menang dalam Pemilu itu, sesuai dengan aturan demokrasi," kata Min Aung Hlaing.
Baca juga: Polisi Myanmar Tembakkan Meriam Air ke Pengunjuk Rasa dan Memperingatkan untuk Bubarkan Diri
Min Aung Hlaing tidak menjelaskan kapan Pemilu tersebut akan dilaksanakan, tetapi junta mengatakan keadaan darurat di Myanmar akan berlangsung selama satu tahun.
Bicara mengenai kudeta, Min Aung Hlaing mengklaim kejanggalan dalam pemilihan umum (Pemilu) 8 November 2020 memang benar ada tetapi diabaikan.
Adapun mengenai Aung San Suu Kyi, dia tidak menyinggung sama sekali pemimpin yang digulingkan itu.
Aksi Protes
Sejumlah warga Myanmar yang terdiri dari pegawai pemerintah, dokter dan guru telah bergabung dalam menggalang seruan aksi protes kudeta militer.
"Kami meminta staf pemerintah dari semua departemen untuk tidak hadir bekerja mulai Senin," kata aktivis Min Ko Naing, seorang veteran demonstrasi 1988 yang membuat Suu Kyi terkenal.
Darurat militer diberlakukan di beberapa bagian Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu setelah ratusan ribu orang berkumpul di seluruh negeri menentang kudeta, Senin (8/2/2021).
Perintah itu mencakup tujuh kota di Mandalay, yaitu melarang orang melakukan protes atau berkumpul dalam kelompok-kelompok yang terdiri lebih dari lima orang.
Selain itu, jam malam diberlakukan mulai pukul 8 malam sampai pukul 4 pagi, kata departemen administrasi umum dalam sebuah pernyataan.
Diberitakan sebelumnya, sebagian akses internet di Myanmar telah dipulihkan pada Minggu (7/2/2021) menyusul meluasnya aksi protes oleh warga.
Pemblokiran akses web dan media sosial nasional dianggap telah gagal meredam kemarahan publik.
Adapun putusnya akses internet di Myanmar pada Sabtu (6/2/2021) merupakan perintah militer.
Netblocks melaporkan platform media sosial tidak dapat diakses hingga Minggu (7/2/2021) menjelang sore.
Namun kemudian warga yang menggunakan layanan dengan MPT, Ooredoo, Telenor and Mytel dapat mengakses data internet seluler dan Wi-Fi.
"Pemulihan sebagian konektivitas Internet dikonfirmasi di #Myanmar mulai pukul 14.00 waktu setempat pada beberapa penyedia layanan (provider) setelah pemadaman informasi," tulis organisasi pemantau keamanan siber, Netblocks di laman Twitter-nya, @netblocks.
Dilaporkan pula, sebelum sebagian akses internet dipulihkan, konektivitas di Myanmar berada pada 14 persen dari tingkat biasanya.
Untuk diketahui, pada hari kedua, warga yang mengikuti aksi protes terhadap junta militer semakin banyak.
Para demonstran memakai baju merah, bendera merah dan balon merah, yang mana warna tersebut adalah simbol yang mewakili Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi.
Dalam aksi tersebut, para demonstran serentak meneriakkan 'kami tidak ingin kediktatoran militer, kami ingin demokrasi'.
Kerumunan besar-besaran itu dari seluruh penjuru Yangon berkumpul di kota-kota dan menuju ke Pagoda Sule di jantung pusat Kota Yangon, juga titik kumpul pada protes 2007 yang dipimpin biksu Buddha dan lainnya pada tahun 1988.
Sederet polisi bersenjata dengan perisai keamanan mendirikan barikade, tetapi tidak mencoba menghentikan demonstrasi.
Beberapa demonstran menghadiahi polisi dengan bunga sebagai tanda perdamaian.
Para demonstran juga memberi hormat dengan tiga jari yang telah menjadi simbol protes terhadap kudeta.
Baca juga: Protes Meluas ke Penjuru Negeri, Myanmar Berlakukan Darurat Militer
Sementara para pengemudi kendaraan membunyikan klakson dan penumpang mengangkat foto pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
"Kami tidak ingin hidup di bawah sepatu bot militer," kata demonstran Ye Yint (29).
"Kami tidak ingin kediktatoran untuk generasi berikutnya," kata demonstran Thaw Zin (21).
"Kami tidak akan menyelesaikan revolusi ini sampai kami membuat sejarah. Kami akan berjuang sampai akhir," lanjut Thaw Zin.
Lebih lanjut, menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkirakan bahwa 1.000 orang bergabung dalam protes di Naypyidaw sementara di Yangon saja ada 60.000 orang.
Protes juga dilaporkan di Kota Mandalay dan banyak kota di negara berpenduduk 53 juta orang itu.
Aksi protes tersebut dilaporkan sebagian besar berlangsung damai, tidak seperti penumpasan berdarah yang terjadi pada tahun 1998 dan 2007.
Tetapi tembakan terdengar di bagian tenggara Kota Myawaddy ketika polisi berseragam dengan senjata menuduh sekelompok pengunjuk rasa.
Sebuah foto dari demonstran setelah itu menunjukkan apa yang tampak seperti luka peluru karet.
Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi kini tengah menghadapi dakwaan impor enam walkie-talkie secara ilegal dan ditahan di tahanan polisi untuk penyelidikan sampai 15 Februari 2021.
Pengacaranya mengatakan dia belum diizinkan untuk menemuinya.
Aung San Suu Kyi diketahui memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 karena mengkampanyekan demokrasi.
Dia menghabiskan hampir 15 tahun di bawah tahanan rumah dan selama beberapa dekade berjuang untuk mengakhiri hampir setengah abad pemerintahan militer.
Komandan Angkatan Darat Min Aung Hlaing melakukan kudeta atas dasar penipuan dalam pemilu 8 November 2020 di mana partai Suu Kyi menang telak.
Komisi pemilihan menepis tuduhan malpraktek.
Lebih dari 160 orang telah ditangkap sejak militer merebut kekuasaan, kata Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk Myanmar.
Baca juga: Aksi Protes Meluas, Sebagian Akses Internet di Myanmar Telah Dipulihkan
(Tribunnews.com/Rica Agustina)