Mohsen Fakhrizadeh diidentifikasi oleh Israel sebagai pemain utama dalam apa yang dikatakannya sebagai pencarian senjata nuklir Iran yang berkelanjutan.
Dia adalah ilmuwan nuklir Iran kelima yang tewas dalam serangan yang ditargetkan sejak 2010 di Iran, dan pembunuhan kedua terhadap seorang pejabat tinggi Iran di 2020.
Baca juga: Senjata yang Dipakai Membunuh Ilmuwan Nuklir Iran Diduga Milik Israel
Dilema yang Dihadap Iran
Setelah pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, ditambah dengan dugaan sabotase lokasi perakitan sentrifuse di Natanz dan pembunuhan jenderal tinggi Qassem Soleimani, Iran menghadapi dilema.
Diberitakan NBC News sebelumnya, jika memilih untuk tidak membalas dengan tetap membuka pintu diplomasi, Iran akan terlihat lemah dan mengundang lebih banyak serangan rahasia.
Namun, jika Iran membalas dendam pada target Israel atau AS, Teheran bisa kehilangan kesempatan terbaiknya untuk mencabut sanksi yang telah membuat ekonominya berantakan.
Pembalasan Iran "berisiko memicu reaksi berantai," ungkap Robert Malley, mantan pejabat senior di Gedung Putih Obama yang membantu merundingkan kesepakatan Iran.
"Israel dapat memilih untuk menanggapi dengan cara yang sama dan langkah semacam itu dapat semakin memperumit kembalinya AS ke perjanjian nuklir," tulis Malley, presiden lembaga pemikir International Crisis Group, baru-baru ini di Foreign Policy.
Langkah tersebut menurutnya juga berpotensi menolak bantuan ekonomi yang sangat dibutuhkan Iran.
Dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, Iran harus mempertimbangkan bagaimana menjaga pejabat nuklirnya yang tersisa aman.
"Iran juga harus memikirkan bagaimana mencegah serangan di masa depan dan apakah pembalasan akan meningkatkan atau merusak prospek perjanjian diplomatik dengan pemerintahan Biden yang akan datang," kata mantan pejabat AS.
"Namun, pembunuhan ilmuwan nuklir Iran 10 tahun lalu tidak menghalangi Iran untuk melakukan diplomasi dengan Amerika Serikat dan pemerintah lain," kata David Albright, pendiri dan presiden Institut Sains dan Keamanan Internasional nirlaba.
Albright mengatakan, kematian Fakhrizadeh membuat Iran kehilangan sosok penting yang mahir dalam mengelola dan mengatur pekerjaan nuklir yang sensitif.
"Jika Iran memilih untuk terburu-buru membangun bom, itu akan menjadi tempat yang tepat untuk membangun perangkat untuk meledak di bawah tanah," kata Albright.