TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Semua bisnis ditutup di Myanmar pada Senin (22/2/2021) dalam aksi mogok massal untuk menentang kudeta militer.
Selain toko-toko lokal, perusahaan-perusanaan asing juga mengumumkan penutupan pada Senin (22/2/2021), termasuk KFC Yum Brands Inc. dan layanan pengiriman Food Panda, yang dimiliki oleh Delivery Hero.
Seperti dilansir Reuters, Senin (22/2/2021), perusahaan Asia Tenggara Grab menghentikan layanan pengiriman juga, tetapi membiarkan taksinya berjalan.
Aksi mogok kerja massal ini dilakukan setelah ancaman pihak otoritas militer bahwa konfrontasi dapat kembali merenggut nyawa.
Tiga minggu setelah merebut kekuasaan sipil, junta militer telah gagal menghentikan gelombang protes harian dan gerakan pembangkangan sipil yang menyerukan kudeta militer diakhiri dan pembebasan pemimpin sah yang terpilih Aung San Suu Kyi.
"Semua orang bergabung dengan aksi protes ini," kata San San Maw, 46, di persimpangan Hledan, di kota utama Yangon, yang telah menjadi titik kumpul massa.
"Kita harus keluar," serunya.
Baca juga: Protes Anti-Kudeta Myanmar: 2 Orang Dilaporkan Tewas, Lainnya Cedera
Di negara di mana tanggal dipandang menguntungkan, demonstran mencatat pentingnya tanggal 22.2.2021, membandingkannya dengan demonstrasi pada 8 Agustus 1988, ketika generasi sebelumnya menggelar protes anti-militer yang menyebabkan pertumpahan darah.
Respon pasukan keamanan kali ini kurang mematikan, tetapi setidaknya tiga demonstran telah tewas setelah dua orang ditembak mati di kota kedua di Mandalay pada Sabtu (20/2/2021).
Satu anggota polisi meninggal karena luka-luka dalam protes, kata tentara.
Kasus kematian di Mandalay tidak menyurutkan demonstran pada hari berikutnya.
Puluhan ribu orang turun di sana dan di Yangon.
Media milik pemerintah junta Militer MRTV memperingatkan para demonstran untuk tidak bertindak keras pada hari Senin (22/2/2021).
"Para demonstran sekarang menghasut orang-orang, terutama remaja dan pemuda yang emosional, ke jalur konfrontasi di mana mereka akan menderita hilangnya nyawa," katanya.
Htet Htet Hlaing, 22 tahun, mengatakan dia takut dan telah berdoa sebelum bergabung dengan demonstrasi Senin, tetapi tidak akan berkecil hati.
"Kami tidak ingin junta, kami ingin demokrasi. Kami ingin menciptakan masa depan kami sendiri," tegasnya.
"Ibu saya tidak menghentikan saya untuk keluar, dia hanya berkata 'berhati-hatilah'."
Beberapa negara Barat telah mengutuk kudeta dan mengecam tindakan kekerasan terhadap demonstran.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan di Twitter, Amerika Serikat akan terus "mengambil tindakan tegas" terhadap tindakan keras pihak berwenang terhadap lawan kudeta di negara Asia Tenggara itu.
"Kami berdiri bersama rakyat Myanmar," katanya.
Inggris, Jerman, Jepang, dan Singapura juga telah mengutuk kekerasan itu dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kekerasan mematikan tidak dapat diterima.
Penduduk di Yangon mengatakan jalan menuju beberapa kedutaan, termasuk kedutaan AS, diblokir pada Senin (22/2/2021).
Misi diplomatik telah menjadi titik pengumpulan bagi para demonstran yang menyerukan intervensi asing.
Utusan khusus PBB tuntuk hak asasi manusia ke Myanmar, Tom Andrews, mengatakan dia sangat prihatin dengan peringatan junta kepada para demonstran.
"Tidak seperti 1988, tindakan oleh pasukan keamanan sedang direkam dan Anda akan dimintai pertanggungjawabannya," katanya di Twitter.
Militer merampas kekuasaan setelah dugaan kecurangan dalam pemilu 8 November yang dimenangkan mutlak oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD Suu Kyi).
Suu Kyi dan banyak pemimpin NLD ditahan sejak 1 Februari lalu.
Komisi pemilihan umum menolak tudingan junta militer terkait kecurangan pemilu.
Asosiasi Bantuan Myanmar untuk Tahanan Politik mengatakan 640 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sejak kudeta - termasuk mantan pejabat pemerintah dan penentang pengambilalihan tentara.(Reuters)