Pemuda itu ditembak di leher dan meninggal, kata media setempat.
Sebelumnya, kerumunan besar telah berbaris secara damai melalui kota melantunkan: "Zaman batu sudah berakhir, kami tidak takut karena Anda mengancam kami."
Sebelumnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut setidaknya 54 orang telah tewas sejak kudeta.
Sementara lebih dari 1.700 orang telah ditangkap, termasuk 29 wartawan.
Presiden Joe Biden bulan lalu menggulirkan sanksi terhadap Myanmar, pada mereka yang bertanggung jawab atas kudeta pemerintahan yang dipimpin sipil di negara Asia Tenggara itu, termasuk menteri pertahanan dan tiga perusahaan di sektor giok dan permata.
Terus Melawan
Aktivis pro-demokrasi Myanmar berjanji pada Kamis (4/3/2021) akan terus melawan dengan mengadakan lebih banyak aksi demonstrasi, meskipun PBB menyebut 38 orang tewas dalam dalam paling brutal dan berdarah sejak kudeta militer bulan lalu.
Pada Rabu (3/3/2021) kemarin, Polisi dan militer menembaki para demonstran dengan peluru tajam.
Jatuhnya puluhan korban jiwa dan luka-luka akibat aksi brutal aparat keamanan Myanmar itu terjadi sehari setelah negara-negara tetangga Asia Tenggara (ASEAN) menyerukan menaghan diri setelah kudeta militer terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
"Kami tahu bahwa kami selalu bisa kapan saja ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam mereka tetapi tidak ada artinya untuk tetap hidup di bawah junta militer, sehingga kami memilih jalan berbahaya ini, " tegas aktivis Maung Saungkha kepada Reuters, Kamis (4/3/2021).
Kelompok Komite Aksi Mogok Massal Nasional berencana akan mengadakan aksi protes pada Kamis (4/3/2021).
"Kami akan melawan junta militer dengan cara apa pun yang kami bisa. Tujuan utama kami adalah untuk menghapus sistem junta dari akar," kata Maung Saungkha.
Postingan media sosial dari aktivis lain mengatakan setidaknya dua demonstrasi lain juga direncanakan di beberapa bagian kota Yangon. (Reuters/Channel News Asia/AFP)