TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat dunia tengah menantikan hasil pertemuan antara dua negara adidaya, Amerika Serikat (USA) dengan China yang berlangsung Kamis (18/3/2021) di negara bagian Alaska Amerika Serikat (AS).
Pertemuan ini dilakukan setelah hubungan antar dua negara raksasa tersebut semakin memanas, khususnya setelah negeri Paman Sam melontarkan keyakinan dan pandangannya terkait genosida etnis Uighur di Xinjiang yang dilakukan oleh otoritas China.
"Saya tahu bahwa menangani genosida terhadap Muslim Uighur adalah sesuatu yang akan menjadi topik diskusi langsung dengan China," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki dan diperkuat oleh pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Ned Price yang mengatakan Washington belum mengubah penilaiannya bahwa ada genosida terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Diminta Berperan Aktif Terkait Masalah Uighur di China
Mengamini Amerika Serikat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menilai persoalan Uighur di Xianjiang memang seharusnya diangkat menjadi permasalahan serius dunia.
Anggota Komisi I DPR RI F-PKS, Al Muzammil Yusuf mengatakan sudah saatnya negara-negara dunia termasuk Indonesia, bersuara terhadap pelanggaran berat HAM China terhadap Etnis Uighur di Xinjiang.
“Karena tanpa tekanan negara-negara dunia di PBB dan IPU (International Parliamentary Union), China tentu tidak akan merubah represi HAMnya terhadap Uighur”, kata Al Muzammil Yusuf kepada wartawan, Jum’at (19/3/2021).
Genosida terhadap etnis Uighur adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap kelompok muslim Uighur di Xinjiang dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) Etnis Uighur.
Baca juga: Twitter Kunci Akun Kedubes AS di China Karena Membela Kebijakan China Terhadap Muslim Uighur
Legislator dari daerah pemilihan Lampung ini menambahkan, apa yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uighur sangat tidak patut ditunjukkan di panggung internasional.
Misalnya saja, pernikahan yang dipaksakan, sterilisasi kelahiran, pemerkosaan, penyiksaan hingga pembantaian, memisahkan anak dengan orang tua dan membangun penjara massal untuk muslim Uighur.
“Itu cara-cara terbelakang. Sekarang ini wajah dunia adalah kemanusiaan. Pesan dunia internasional, yaitu jauhi tindakan intimidasi, pelecehan atas HAM," pungkasnya.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta pemerintah Indonesia memberikan pengaruhnya kepada China, agar negeri tirai bambu ini menghentikan aksi kejam genosida.
“Beberapa waktu lalu Pak Luhut Menko Maritim dan Investasi mengungkapkan betapa eratnya persahabatan dengan China. Dalam konteks tertentu, Pak Luhut mengatakan apa saja yang kita minta dia (China) mau. Seperti Amerika, Prancis, Belanda dan negara dunia lainnya, minta China hentikan aksi kejam genosida terhadap Uighur,” kata peneliti CENTRIS, AB Solissa saat dihubungi wartawan, Jum’at (19/3/2021).
CENTRIS menilai Indonesia dapat menggunakan momentum kedekatan ini, untuk memperingatkan China agar menyudahi aksi genosida terhadap Etnis Uighur seperti yang dituduhkan oleh negara-negara dunia.
“Bukankah dalam mukadimah UUD 1945 jelas disebutkan pemerintahan ini dibentuk juga untuk berperan dalam menjaga perdamaian dan ketertiban dunia,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, wilayah Xinjiang adalah rumah bagi sekitar 10 juta orang Uighur yang membentuk sekitar 45% dari populasi masyarakat di Xinjiang China.
Dugaan otoritas China telah melakukan diskriminasi budaya, agama, dan ekonomi hingga genosida yaitu penghilangan paksa ras Uighur dengan cara-cara sadis seperti penyiksaan hingga pembantaian, pemerkosaan dan penjara untuk mem brain wash etnis Uighur, semakin kuat disuarakan oleh negara-negara dunia.
Terbaru, pejabat AS dan pakar PBB menyatakan hingga satu juta orang atau sekitar tujuh persen dari populasi Muslim di Xinjiang, telah ditahan dalam jaringan kamp "pendidikan ulang politik" yang dibuat oleh otoritas China.