TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Myanmar yang digulingkan, Aung San Suu Kyi akan menghadapi tuduhan baru terkait dugaan korupsi dari para jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Februari 2021.
Sementara itu, para pengunjuk rasa yang turun ke jalan masih memperjuangkan pemulihan demokrasi menghadapi isolasi di tengah pemadaman jaringan internet.
Peraih Nobel berusia 75 tahun, yang ditahan bersama dengan pembantu utama lainnya ketika militer mengambil kendali negara itu, telah didakwa karena memiliki walkie-talkie tak berizin dan melanggar pembatasan virus corona.
Baca juga: Jokowi Bakal Kontak Sultan Brunei Sikapi Situasi di Myanmar
Baca juga: Junta Myanmar Tuding Aung San Suu Kyi Lakukan Korupsi, Pengacara: Itu Tidak Berdasar
Pada Rabu malam (17/3/2021), penyiar militer Myawady menayangkan video seorang pengusaha Myanmar yang mengaku memberinya total $ 550.000 selama beberapa tahun.
Mengutip Al Jazeera, Maung Weik, seorang pengembang properti, mengatakan bahwa dia telah menyumbangkan uang kepada tokoh-tokoh senior pemerintah untuk kelancaran bisnisnya.
"Aung San Suu Kyi melakukan korupsi dan (pihak berwenang) bersiap untuk menuntutnya sesuai dengan undang-undang antikorupsi," kata seorang penyiar selama siaran.
Baca juga: PBB: 149 Orang Tewas, Ratusan Hilang dalam Kerusuhan Myanmar
Bukan Kali Pertama
Ini bukan pertama kalinya tuduhan korupsi diajukan terhadap Suu Kyi.
Pekan lalu seorang juru bicara militer mengatakan seorang menteri utama yang sekarang ditahan telah mengakui memberinya $ 600.000 dan lebih dari 10 kilogram emas batangan.
Pengacaranya telah membantah tuduhan tersebut.
"Tuduhan itu tidak berdasar dan tidak masuk akal," kata pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw, kepada kantor berita AFP.
"Aung San Suu Kyi mungkin memiliki kekurangannya tapi suap dan korupsi bukanlah sifatnya," katanya.
Baca juga: Uni Eropa Akan Jatuhkan Sanksi Terhadap Kepentingan Bisnis Junta Militer Myanmar Pekan Depan
Maung Zaw seraya menambahkan bahwa kebanyakan orang di Myanmar tidak akan mempercayai tuduhan tersebut.
Myanmar telah dilanda kekacauan yang disebabkan langkah militer untuk merebut kekuasaan.
Ratusan ribu orang menolak bekerja dan yang lainnya turun ke jalan dalam gerakan pembangkangan sipil massal untuk memulihkan demokrasi dan menjamin pembebasan Aung San Suu Kyi dan orang-orang terpilih lainnya.
Para jenderal telah membenarkan perebutan kekuasaan mereka dengan menuduh kecurangan dalam pemilu November lalu yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai Aung San Suu Kyi, secara telak.
Baca juga: Yayasan yang Didirikan Miliarder George Soros Tuntut Militer Myanmar Bebaskan Stafnya
218 Orang Tewas dalam Protes Anti-Kudeta Myanmar
Lebih jauh, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang melacak penangkapan dan korban jiwa sejak kudeta, mengatakan sedikitnya 217 orang telah tewas dalam protes tersebut.
Pada Rabu (17/3/2021), Asosiasi Biksu Buddha yang kuat di negara itu mendesak diakhirinya kekerasan dan menuduh "minoritas bersenjata" melakukan penyiksaan dan pembunuhan warga sipil yang tidak bersalah.
Kantor berita Myanmar Now melaporkan, untuk mengecam tindakan keras terhadap demonstran pro-demokrasi, organisasi yang ditunjuk pemerintah itu juga mengatakan dalam draf pernyataan bahwa anggotanya bermaksud menghentikan kegiatan.
Militer juga berusaha membatasi komunikasi dan arus informasi.
Baca juga: Pabrik China Dibakar karena Dianggap Dukung Kudeta Myanmar, Lebih dari 30 Orang Tewas
Pemadaman internet semalam telah diberlakukan selama 32 malam, sementara minggu ini militer mulai memblokir data ponsel, membuat gerakan protes semakin menantang untuk mengatur atau berbagi foto dan video dari peristiwa yang sedang berlangsung.
Akses ke WiFi di tempat umum sebagian besar ditutup pada hari Kamis.
Penduduk beberapa kota, termasuk Dawei di selatan, dilaporkan tidak memiliki internet sama sekali.
Media non-pemerintah juga mendapat tekanan.
Sementara pihak berwenang telah memerintahkan beberapa surat kabar untuk ditutup, yang lain tampaknya terpaksa tutup karena alasan logistik.
Koran swasta terakhir berhenti terbit pada Rabu (17/3/2021).
"Sekira 37 jurnalis telah ditangkap, termasuk 19 orang yang masih ditahan," kata kantor hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa pada Selasa (16/3/2021).
Berita lain terkait Myanmar
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)